Bocah Angin & Turbulensi Waktu

Ravistara
Chapter #20

Jalan Panjang Keadilan

Kebekuan di wajah Puspa bertahan sepanjang perjalanan mereka menuju kediaman Kiai Tulus. Kebekuan itu bagai pelindung bagi hati Puspa yang belum sembuh setelah berpulangnya mendiang Pak Gilang. Bagi Puspa, hanya lelaki itu satu-satunya keluarga dan orang yang pantas ia sebut ayah. Sementara bagi Itkas, keberhasilannya membujuk Puspa bukanlah puncak pencapaian sebuah misi, tetapi pekerjaan rumah panjang yang belum selesai. Sebagaimana sebelumnya, ia kesulitan menghadapi kegigihan sikap Puspa saat gadis itu menutup diri. Itkas memilih menyerahkan urusan tersebut kepada sang guru. 

“Di antara sekian banyak orang, kenapa harus saya yang mengalami semua ini, Pak Kiai?” keluh Puspa ketika akhirnya Kiai Tulus berhasil membujuknya untuk mengungkapkan perasaan. Sang guru memahami cobaan yang tengah dialami oleh gadis itu, tetapi Puspa harus bercerita dengan mulutnya sendiri agar beban gadis itu berkurang. Trauma mampu membunuh nurani seseorang jika dibiarkan mengendap tanpa diberi kesempatan untuk meluap ke permukaan. 

Kiai Tulus mengulangi apa yang pernah ia katakan kepada Itkas dulu. “Pada tiap helai daun yang gugur, butiran pasir di lautan, ataupun ajal setiap insan, tiada satu pun yang luput dari pengetahuan dan kekuasaan Allah. Setiap musibah yang ditimpakan oleh Allah ada tujuannya. Untuk menguji kita, Nak Puspa; siapa yang paling baik amalnya dalam menghadapi musibah itu. Allah mengangkat derajat orang-orang beriman dengan musibah. Allah pun menjadikannya sebagai peringatan kepada kaum tidak beriman, bahwa kehidupan ini hanya sementara. Namun, berhati-hatilah. Tidak sedikit orang yang tergadaikan imannya dan menjadi kufur karena gagal menangkap pesan ini.”

Puspa tertunduk. Matanya merah dan sembab. Sudah kering air matanya, tetapi luka itu masih terasa menganga. “Saya …, apakah saya salah telah berpikir bahwa Allah sedang menghukum saya? Saya merasa korban-korban tragedi itu sedang mengejar saya karena perbuatan jahat seseorang di masa lalu.” Orang yang dimaksud Puspa adalah ayah biologisnya. Lelaki yang takkan sudi ia akui sebagai bagian dari dirinya. 

“Nak Puspa …. Allah tidak pernah menghukum para nabi dan rasul atas kejahatan umatnya. Seorang anak juga tidak menanggung dosa ayahnya, begitu pula orang lain. Tapi, ada satu dosa yang sangat berbahaya karena hukumannya akan terus mengalir walaupun pelakunya telah meninggal. Ini adalah dosa jariyah.”

“Dosa apa itu, Kiai?” Itkas tidak bisa menahan diri untuk bertanya. Peringatan Kiai Tulus terdengar amat serius untuk diabaikan. Sang guru menjawab, “Mengajak orang lain pada kesesatan dan kemaksiatan. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam bertindak. Perbuatan keliru yang sengaja ditampakkan untuk diikuti oleh orang lain, kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat. Pelakunya akan memikul dosa-dosa orang yang telah ia sesatkan.”

“Na’udzubilahi min dzalik.” 

Bukan hanya Itkas, hati Puspa gemetar mendengarnya. Gadis itu seolah menyadari ke mana arah pembicaraan Kiai Tulus bermuara. Namun, ia tidak dapat membantah karena itu semata-mata kebenaran. Ia menyaksikan sendiri bagaimana akhir hayat Gunardi, sang provokator. Itu baru di dunia, entah bagaimana kelak di akhirat. Ketakutan di hatinya pun berubah menjadi bentuk lain. Ketakutan itu kini murni karena Allah. Beruntungnya ia telah diingatkan. 

“Apakah dosa saya bisa diampuni, Pak Kiai?” tanya Puspa gundah. “Sebelum ini, saya sering membakar emosi orang-orang agar bangkit menuntut ketidakadilan dan kezaliman. Para korban yang menderita akibat gonjang-ganjing politik negeri ini. Korban kebijakan ekonomi, pelanggaran HAM, hukum, dan banyak lagi.”

“Selama masih dalam konteks amar makruf nahi mungkar. Tapi, jika sudah kepada ajakan melampaui batas, misalnya melakukan pengrusakan atau tindak anarkis lain, maka ini yang salah kaprah dan berbahaya. Ketika masih muda, saya pernah mengalami masa-masa gerakan PRRI dan Permesta. Saya kemudian bergabung dalam TNI. Lalu, terjadi kudeta PKI.” 

Lihat selengkapnya