Mei, 1999
Indri menatap wajah sang putri dengan kebahagiaan merebak. Puspa Dwi Kartika, nama yang disematkan untuk gadis kecil itu. Mengandung doa dan pengharapan tertinggi, semoga sang putri tumbuh menjadi bunga kebanggaan bagi dua bintang yang terlahir kembali untuknya: Gilang Raharjo dan Indriana Tamam–tanpa gelar apa-apa. Indri memutuskan untuk melepaskan mimpi-mimpinya dan bersandar sepenuhnya pada Gilang yang juga telah berdamai dalam kontemplasi panjang. Mereka adalah dua orang yang berusaha bertahan melanjutkan hidup setelah tragedi Mei 1998 dan insiden penculikan yang menimpa Indri. Keduanya juga sepakat untuk tetap bertahan di Jakarta.
Setelah kehilangan keluarganya dalam kerusuhan tahun 1997 di Banjarmasin, sejujurnya Indri tidak tahu lagi harus melangkah ke mana. Ia telah lelah berlari. Ke mana pun ia pergi, kematian niscaya tetap akan menemukannya. Maka, Indri sempat ragu ketika Gilang menyatakan niat untuk menikahi dan menjaganya. Indri pun belum sadar bahwa ia tengah berbadan dua. Namun, berkat kesungguhan yang diperlihatkan oleh lelaki itu, keraguannya sirna. Indri juga tidak punya pilihan.
Setelah kasus korban kekerasan seksual sekaligus aktivis yang dibunuh karena memberikan kesaksian, tumbuh ketidakpercayaan Indri terhadap lembaga advokasi apa pun. Tiada yang mampu melindungi dirinya, kecuali Tuhan, dan Indri yakin bahwa Gilang adalah penolong yang dikirimkan oleh Tuhan untuknya. Gilang juga bukan orang asing. Mereka pernah bersua di rumah sakit, walaupun dalam situasi yang rumit. Mereka juga punya pandangan yang sama tentang tragedi Mei 1998. Tahun itu, Indonesia bukan hanya diuji dengan krisis ekonomi dan reformasi politik, tetapi juga tragedi kemanusiaan. Indri telah memutuskan untuk menatap masa depan, tetapi ia tidak akan pernah melupakan.
Pihak yang beranggapan bahwa data korban Mei 1998 hanya dilebih-lebihkan, mungkin hanya mengikuti kasus ini sebatas dari warta berita yang disantap bersama segelas kopi di pagi hari, layar televisi, atau desas-desus tetangga kanan kiri. Orang-orang mungkin tidak pernah merasakan bagaimana keraguan korban menghadapi masa depan, keselamatan diri hingga esok hari, ketakutan untuk sekadar berbicara tentang musibah yang mereka alami. Bahkan, memikirkan nasib bayi-bayi yang terlahir dari kesalahan. Tetap saja, penonton bukanlah pemeran.
Pernah satu kali, perasaan itu meluap tanpa bisa Indri kendalikan. “Bagaimana jika Puspa bukan anak kita?”
“Aku tetap mencintai kalian berdua.”
“Tapi, aku tidak tahu Puspa anak siapa.” Dada Indri sesak.
“Dia anakku. Aku pasti akan menjaganya. Aku janji,” ucap Gilang tegas, dengan sikapnya yang masih sama, pantang untuk dibantah. Tanpa perlu diyakinkan pun, ia akan tetap menikahi dan jatuh cinta pada Indri. Dari perdebatan mereka setahun yang lalu, Gilang yakin bahwa Indri adalah perempuan berhati teguh dan berpikiran terbuka. Ia membutuhkan perempuan seperti Indri untuk saling berbagi dan mendukung pasca tragedi yang sama-sama mereka lalui. Gilang ingin menyimpan dan mengobati rasa bersalahnya dengan terus berada di sisi Indri. Dengan melindungi Indri dan bayinya, Gilang berharap semoga ia bisa menebus segenap perasaan itu.
Sayang, Gilang terlambat menyadari bahwa Puspa lebih mirip Gunardi, saudaranya. Gilang juga tidak punya kecurigaan apa-apa ketika Gunardi menentang pernikahannya dengan Indri. Gilang tidak pernah mempermasalahkan ketidakhadiran sang kakak. Ia nekat menikahi Indri tanpa restu Gunardi. Andaikan Gilang tahu, mungkin Indri masih hidup saat ini.
Akan tetapi, Gilang tetap bisa berbangga hati karena mampu memenuhi janjinya pada istrinya. Puspa tumbuh sesuai harapan mereka, meskipun semangat menyala dalam diri gadis itu kerap membuatnya khawatir. Sering, ia merasa takut Puspa akan terbakar jika terlampau dekat bermain api. Sayang, ia sudah tiada di hari Puspa akhirnya mengenakan toga. Indri menjemputnya lebih dulu untuk bersatu dalam kematian.
***
Puspa sadar bahwa ia harus berhenti bersikap melankolis setiap kali mengingat kenangan tentang orang tuanya. Mereka berdua tentu tidak ingin melihat ia senantiasa bersedih dalam kemalangan hidup. Harus Puspa akui, ia acapkali larut dalam penyesalan karena tidak mampu mengingat bagaimana wajah ibunya. Dari sekian retrokognisi yang menghantui, Puspa sebetulnya berharap ia mampu melihat hari di saat ia lahir. Namun, masa lalu itu tampaknya enggan hadir. Bukan untuk menyiksa Puspa dalam keingintahuan mendalam, tetapi lebih kepada melindungi Puspa dari kenangan yang menyakitkan akibat rasa kehilangan.
Jika merindukan wajah ibunya, Puspa tinggal bercermin, kata Gilang. Mata mungil berbinar gadis itu tentu diwariskan dari Indri. Puspa memang mirip Tionghoa, tetapi juga ada jejak Melayu dari sorot matanya yang sayu. Wajah ibunya pasti cantik sekali. Sementara itu, lekuk tegas pada bibir penuhnya yang ia yakin tidak cukup mirip dengan mendiang kedua orang tuanya, membuatnya berhenti bertanya-tanya lebih jauh. Ia cukup tahu diri dan tidak menyesal terlahir tanpa ayah. Bahkan, paradoks itu adalah hikmah yang patut disyukuri. Sayang, Puspa tidak sempat mengetahui lebih lengkap sejarah hidup ibunya karena lelaki yang mengasuhnya tidak sempat bercerita dan tidak menyimpan catatan sama sekali. Gilang bermaksud menyembunyikan dan melindungi Indri sepenuhnya dari mata dunia.
“Puspa.”
Lamunan Puspa terganggu. Ia mengangkat wajah mendengar panggilan itu. Seketika, matanya berdenyar seakan melihat hantu. Ia sudah cukup yakin untuk mengubur masa lalu, tetapi sosok itu datang lagi. Kusuma.
Puspa menghela napas panjang untuk mengusir rasa tak nyaman yang menggerogotinya dari dalam. Senyum Kusuma tidak mampu mencairkan kebekuan di hatinya. Ia sudah tahu nilai palsu di balik bibir pemuda itu.
“Ada apa repot-repot mencariku ke sini? Mau beli sembako?” sindir Puspa pada pemuda itu. Kusuma berdeham pelan seraya menarik garis bibirnya yang lihai menyamarkan rasa canggung.
“Kangen.”
Puspa terbatuk. “Antara kita berdua, tidak ada hubungan apa-apa yang cukup menjadi alasan untuk kangen. Yakin, kamu sedang tidak salah merayu orang?” tegas Puspa tanpa peduli. Kusuma menarik kursi plastik yang biasa dijadikan tangga untuk mengambil barang, lalu duduk di seberang Puspa. Tatapannya mulai terasa serius. Andaikan Puspa tidak ingat pada peristiwa terakhir yang merenggangkan koneksi mereka berdua, mungkin saja ia kembali jatuh dalam sorot mata Kusuma yang menghipnotis. Bukan saja indah, tetapi juga mampu memengaruhi orang lain.
“Setelah lulus, kamu menghilang, jadi aku mencarimu.”
“Tidak jauh, ‘kan? Kamu bisa jalan kaki ke sini dari kampus,” sela Puspa cepat.
“Apa yang ingin kamu lakukan setelah ini? Dengan bakatmu itu, apa kamu cuma mau jadi penjaga warung?”
“Ya, ini lebih aman dan cinta damai daripada orator demo atau pengiring arak-arakan Senayan.”
Kusuma kembali berdeham. Kata-kata Puspa sungguh menusuk hati. “Pekerjaan ini tidak cocok untukmu, Puspa. Aku punya tawaran yang lebih baik dan sesuai bidang komunikasi politikmu.”
Puspa mendelik skeptis. Dari selentingan yang ia dengar, Kusuma sedang memulai karier politik dalam sebuah partai. Apakah Kusuma berniat mengajaknya bergabung menjadi bagian agenda politiknya? Atau, mengimingi jabatan strategis yang biasa diincar oleh eks aktivis ormawa?
“Wah, menarik,” sahut Puspa dengan mimik antusias yang dibuat-buat. Sesungguhnya, ia tidak begitu tertarik selain ingin tahu tujuan Kusuma sebenarnya. Wajah pemuda itu pun tampak bungah. Hidungnya kembang kempis ditiup oleh udara kebanggan.
“Sejak terlibat di ormawa, aku sadar kita punya kesamaan pandangan, Puspa. Jadi, aku ingin kita menyatukan ini dalam visi dan misi yang lebih solid. Dalam pernikahan. Jadilah pasanganku dan kita akan saling mendukung dalam karier politik sebagaimana kamu dan aku dulu.”
Puspa tidak mampu menutup mulutnya yang terbuka. Proposal mendadak itu terdengar bagai akhir kisah dongeng yang fantastis; putri dari rakyat biasa bertemu takdir yang cemerlang saat dipinang oleh pemuda dari trah bangsawan. Namun, keseriusan di wajah Kusuma yang terlihat bagai skenario sempurna di mata Puspa, justru menjadi cela tiada tara.