Itkas sedang bercocok tanam di kebunnya. Dia sedang memanen tomat yang sudah memerah. Sebagian yang masih hijau, dibiarkannya memerah dulu. Dia tersenyum bahagia. Sekitar 50 butir tomat berhasil dia kumpulkan. 5 buah akan dimakan sendiri, sedangkan sisanya akan dibarter dengan beberapa tetangganya. Tiba- tiba dia tercekat. Kaget bukan kepalang. Bingung sebingung bingungnya bingung. Akhirnya dia beristighfar. Menyadari sesuatu hal yang berbeda dari biasanya.
“Ya Allah, ampunilah hambamu. Tertawa diatas penderitaan orang lain. Oh, tidak. Tertawa saat ada orang yang sedang kesusahan.” Gumamnya.
Hari ini angin sangat kencang. Warnanya juga pekat. Suara yang dibawa juga sangat lantang. Jika gambaran angin seperti ini, biasanya ada hal buruk yang dibawa angin. Hal ini tentu menarik hati Itkas untuk mengetahui penyebabnya. Ia pun membuka telinganya lebar- lebar.
“Oh, ternyata ada orang yang mendadak gila. Aku harus segera mencari Pak Kajib untuk mengabarinya tentang berita ini sambil minta pendapatnya,” gumamnya. Lalu Itkas pun menuju rumah Pak Kajib. Tak lupa, dia membawa tomat hasil panennya. Dia sudah terbiasa begitu, sambil berkotor- kotor langsung main ke tempat Pak Kajib maupun tetangganya. Penduduk desa sudah maklum dengan hal itu. Toh, merekapun juga berlaku demikian.
“Ada apa, Kas? Kok lari- lari?” tanya Pak Kajib ketika melihat Itkas berlarian. Pak Kajib terlihat duduk santai di teras rumahnya. Kebetulan hari ini hari minggu sehingga dia tidak ke kantor. Pak Kajib terlihat menyruput kopi hitam dengan nikmatnya. Kakinya bergoyang- goyang dengan santainya. Rumah Pak Kajib Sangat luas, sekitar 2.000 m2. Halaman depan juga sangat luas. Rumahnya megah dua lantai. Dia adalah PNS terpandang di desanya. Investasinya di desa juga banyak. Dia banyak membeli sawah- sawah milik tetangga desanya. Ataupun sekedar sewa- menyewa dengan sistem bagi hasil.
“Ada orang gila baru, Pak.”
“Wah, udah biasa itu Kas. Sekarang tuntutan ekonomi dan kesenjangan sosial membuat banyak orang jadi stress sampai gila.”
“Ini bukan masalah ekonomi atau kesenjangan sosial, Pak. Ini masalah rebutan kursi. Ada yang gagal jadi wakil rakyat sehingga mendadak gila. Suara yang terbawa angin mengabarkan dia banyak hutang. Tak sanggup membayar.”
“Waduh, masih begitu ya. Padahal, kalau orang baik dan jujur seharusnya tidak usah pakai modal apapun. Rakyat yang memilih sekarang sudah pintar kok. Akan dipilih orang yang jujur.”
“Betul, Pak. Masalahnya juga tidak sesederhana itu ternyata. Banyak faktor yang ikut berperan. Banyak oknum jahat yang menunggangi.”
“Nah, begini deh kalau ngomongin politik, Kas. Untuk kasus bapak itu, siapa yang menunggangi?”
“Banyak, Pak. Pengusaha menjanjikan sejumlah uang jika calon wakil rakyat ini berhasil mendapat jatah kursi serta kelak meng-acc proyeknya. Trus, kehidupannya dan keluarganya yang glamour. Belum lagi masalah perdukunan yang dijadikan sandaran para wakil rakyat, dan organisasi masyarakat yang berjanji akan mencoblos jika ada sejumlah uang tertentu yang diberikan kepada mereka.”
“Ya, inilah yang disebut lingkaran setan. Tapi, seharusnya dia sudah tahu resiko ini kan?”
“Dia masih newbie, Pak. Temannya yang ketua ormas yang awalnya membujuk beliau untuk mau berebut kursi. Temannya ini juga yang mengenalkan dengan si dukun dan si pengusaha.”
“He…he…namanya juga ormas, banyak channel dan anggotanya.”
“Iya, Pak. Awalnya calon wakil rakyat ini menolak keras. Tetapi setelah bertemu dukun dan pengusaha dia pun berubah pikiran.”
“Udah pengalaman membujuk dan menghipnotis si dukun ini tentunya. Kalau pengusaha, mesti karena iming- iming fee dari proyek besar.”
“Iya, Pak. Si dukun ini kelihatan seperti orang alim. Dalam bekerja saja menggunakan ayat suci al-qur’an.”
“Nah, ini ilmu yang keblinger, Kas. Dukun seperti ini biasanya memanfaatkan ayat suci al-qur’an untuk dapat mengalahkan/ membelenggu jin. Setelah dapat menguasai jin ini, barulah digunakan untuk hal negatif tersebut. Untuk gendam, hipnotis, santet, tenung dan guna- guna.”
“Wah, ya berat kalau gitu, Pak. Bagaimana orang biasa bisa mengalahkan dukun seperti ini? Padahal kan, landasannya al-qur’an. Itu kalam Allah. Kasihan ya manusia biasa.”
“Sebetulnya nggak sulit, Kas. Orang yang paling sakti dan paling ampuh adalah orang yang paling beriman dan paling ikhlas. Iman adalah keyakinan yang diniatkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dilakukan melalui amal perbuatan. Maka, tahap tertinggi iman adalah amal perbuatan yang diukur dengan kumpulan pahala. Baik secara vertikal (habluminallah) maupun horizontal (habluminannas). Maka, perbanyaklah pahala dan ikhlaslah atas takdir Allah. Masalah apapun akan diselesaikan oleh Allah berkat doa kita.”
“Begitu ya, Pak? Lalu yang dukunnya memakai ayat suci al-qur’an tadi bagaimana?”
“Nah, setiap ayat al-qur’an itu ada malaikat penjaganya. Itulah mengapa Allah menjamin kemurnian al-qur’an. Kalau orang beriman, maka yang menolong adalah Allah melalui malaikat penjaga ayat suci al-qur’an tadi. Sedangkan dukun, kan hanya memakai jin. Masih tinggi kekuatannya jika digunakan orang beriman kan?”
“Lha kenapa orang- orang masih takut dukun, Pak?”
“Mereka tidak 100% salah. Uztadz sekarang tidak bisa menerangkan hal ini. Uztadz sendiri pun, aslinya takut dengan dukun tersebut. Lha gimana memberitahu atau menolong umat jika hatinya masih diselimuti ketakutan?”
“Oh, begitu ya, Pak? Lha Bapak kok bisa tahu hal seperti ini?”
“Hal seperti ini hanya diajarkan di pondok tertentu atau kyai tertentu, Kas. Ini ilmu tingkat tinggi soalnya. Kalau salah diajarkan ke sembarang orang, nanti kasusnya bisa seperti Syekh Siti Jenar. Menganggap dirinya Tuhan. Dalam diri manusia, ada roh tuhan. Kan sudah diterangkan dalam al-qur’an tentang pemberian/ peniupan roh ini pada saat penciptaan/ kelahiran manusia. Inilah mengapa dikatakan Allah itu dekat. Kedekatan ini karena ada roh Allah pada diri manusia. Tetapi kecil, hanya sebagian saja. Jika diibaratkan, maka seperti sebutir pasir di gurun sahara. Boleh dibilang bagian, tetapi bukan keseluruhan. Apabila roh kita dibuang, tidak akan mempengaruhi roh Allah secara keseluruhan. Makanya, kita ini bukan apa- apa. Kita ini kecil.
Sadar Diri
Nur diri kecil hanya seupil
Di rangka berbalut daging lain, ada yang lebih terang
Apalagi dibanding nabi dan wali suci
Maka sadarkan fikir intropeksi diri
Seperti bisa lukis langit dengan bianglala
Seperti bisa kendarai bulan menuju mentari
Seperti bisa arungi samudra dengan bahtera
Seperti bisa pecahkan gunung dengan luncuran kata
Sadarlah atau jiwa kalian kan gila
Hingga kotornya hati tak bisa dicuci
Kertas putihmu penuh coretan hitam
Dan tubuh fanamu dikafani dosa