Siang ini Pak Kajib menuju rumah Itkas. Dua minggu ini dia libur lebaran sekaligus mengambil cuti beberapa hari sehingga cukup lama tidak bertemu Itkas. Di tangan kanannya, tampak tas kresek hitam menggantung dan bergoyang ria terombang- ambing mengikuti lambaian tangan Pak Kajib seirama dengan langkah kakinya. Tampaknya, buah tangan dari kampung halaman. Setelah sampai di rumah yang dituju, matanya menyelidik ke seluruh lokasi. Baik dalam rumah maupun luar rumah. Dia berteriak sekencang- kecangnya, namun tiada yang menyahut. Tidak biasanya rumahnya kosong. Itkaspun tidak pernah keluar kampung karena dia tidak mengenal sanak keluarga, pun tidak pernah dikunjungi mereka.
Merasa penasaran, Pak Kajibpun bertanya ke tetangga sekitar. Tapi hasilnya sia- sia, nirtemuan. Para tetanggapun tak tahu menahu keberadaan Itkas. Sudah seminggu ini anak itu menghilang. Lenyap, bak ditelan bumi.
Dengan langkah gontai dan kaki terseok, Pak Kajib pulang ke rumahnya. Penyesalan tampak nyata di raut mukanya. Apalagi hatinya, pasti teriris dan perih. Dia menyesal, kenapa kemarin tidak mengajak Itkas mudik bersamanya. Mungkin Itkas pergi karena kesepian. Belum lagi kasus penculikan anak akhir- akhir ini semakin membuatnya khawatir.
Kemudian dia teringat sesuatu. Mungkin Itkas sedang mencari kyai dan insan mulia yang ingin ditemuinya. Mencoba menimba ilmu hikmah dari mereka. Semoga.
====
* Angin t’lah pergi. Tidak, bukan hanya angin. Itkas menghilang bersama angin yang berlalu tadi siang. Mungkin, dia sudah menemukan orang tua baru. Ya, mungkin orang tua baru itu adalah Angin. Pengganti orang tuanya yang t’lah lama tiada.
Atau, dia pergi karena tak mampu menanggung kelebihannya itu. Karena apabila ada orang kaya atau berpengaruh yang mengetahui kelebihannya itu, maka akan memintanya untuk mendengar suara yang terbawa angin demi kepentingan orang itu. Itkas akan dijadikan alat penyadap hidup. Atau karena dia menganggap dosa telah mengetahui rahasia orang lain?
Semoga dia pergi dalam rangka menimba ilmu dari orang- orang mulia. Semoga dia juga menjadi salah satu orang mulia juga, kelak.
Apapun tujuanmu dan keadaanmu, doa kami bersamamu. Wahai Itkas, semoga kau temukan tempat yang layak untukmu.
Sudah seminggu ini Itkas meninggalkan kampungnya. Seolah hidup di neraka baginya apabila tetap di sana, saat Pak Kajib pergi. Ya, hanya sosok itulah yang bisa menentramkannya. Sedangkan manusia lain, selalu mencemoohnya. Mencaci, menghina, mencacat dan merendahkannya. Dulu, saat kedua orang tuanya masih hidup, tidak demikian. Selain karena orang tersohor, perhatian pribadi dari kedua orang tua Itkas sudah cukup untuk dapat menyunggingkan senyum di bibirnya.
Dengan semangat empat lima, dia membawa serta binatang piaraannya dalam keranjang. Akan dijualnya di pinggir desa untuk mendapatkan ongkos, demi dapat memenuhi hasratnya untuk bertemu insan-insan linuwih. Baik insan yang tidak dapat didengar sama sekali suaranya, yang didengar samar-samar, bahkan yang suaranya sangat keras, seakan sedang membentak dengan warna angin yang hitam pekat.
Jalan Diri
Kulewati hamparan penuh rerumputan
Tuk penuhi kesempurnaan atas penghambaan
Kubawa cermin retak berserak
Dimana bola mata tak bisa berkaca
Kucoretkan tinta di secarik kertas karya
Dari binatang di rerimbunan ilalang
Masing- masing elok tapi penuh borok
Berbulu domba, nyatanya seekor serigala
Ada kunang- kunang kecil saja, bawa cahaya di pantatnya
Berkacak pinggang dengan garang
Sumpah serapah, keluarkan kata sampah
Tak peduli, kuayunkan lagi kaki mungil ini
Ada rama- rama, indah nian corak sayapnya
Tapi, dia hamba dengan otak pelupa
Dulu hanya ulat bikin gatal jidat
Kuabaikan dia dengan fatamorgana ketenarannya
Kulewati bayang sepi taman sari
Bidadari coba panah dinding hati
Dengan gemulainya menari- nari
Itu hanya halusinasi, penuh mafia ilusi
Ini tentang susuri ibu pertiwi
Cari tempat dimana kata tak mudah dibeli
Aksara tak bisa lagi dimanipulasi
Hamparan yang indah tanpa nyanyian dengki