Laku, Waktu
Berdiri jiwaku utuh; di kayu t’lah rapuh
Digergaji tukang; di sebuah ladang
Dibuat papan; sebagai tempat pijakan
Lapuk terendam air; yang tak mengalir
Lalu kucari lagi; tambatan hati
Tempat berteduh; dimana bahteraku labuh
Kurapal doa; lalu kucandra semesta
Fenomena ilmu alam jiwa
Ungguli rahsia tentang binatang
Lebih tinggi dari kitab suci; yang tanpa kaji
Bahkan lebihi sesakti sufi; yang tak mau berbagi
Diurai lewat ayat; yang tersirat
Secercah pancaran cahya surya
Tembus dalamnya laut samudra
Berdendang; ikuti irama gelombang
Masuk ke tiap mili; ruang hati
Semua butuh laku
Lakuku, bukan lakumu
Bukan juga mereka yang membuat laku
Bahkan, tidak juga laku sang guru
Setelah itu, kutunggu waktu
Yang ‘kan datang hampiriku
Sesuaikan sigapnya kesiapanku
Wadahnya disesuaikan serapan ilmu
Telah banyak contoh sudah
Salah wadah; ilmunya salah
Dia ‘kan layu sebelum berkembang
Atau seringkali; mati suri
Ada juga salah beri
Butuh umpan; diberi tali pancingan
Tali dipakai; gantung diri
Justru buat anak adam; jadi terbenam
Juga gaib malaikat; di setiap ayat
Tak boleh diumbar; segala umbar
Justru malaikat ‘kan menyambar
Jikalau kita suka sesumbar
Laku butuh rentang waktu
Waktu datang karena t’lah cukup laku
Laku dan waktu dalam tuntut ilmu
Itulah melulu yang kita tuju
***
Keeseokan harinya, Itkaspun mencari kediaman Kyai Tulus di Magelang. Perjalanan dari Weleri menuju Magelang membutuhan waktu sekitar 6 jam. Rutenya adalah Weleri- Sukorejo- Magelang. Kali ini perjalanan lewat jalur Pegunungan Dieng. Lama mencari dan setelah bertanya kepada beberapa orang, kediaman beliau akhirnya ditemukan. Secara singkat dapat digambarkan laku beliau: Tahun 1950an, sebagai TNI, tentu tugas berat karena masih banyak gangguan keamanan (tidak mengherankan pula jika banyak ahli spiritual adalah dari TNI, sebut saja Pak Karno, Pak Harto dan SBY) karena tugasnya yang berat sehingga memang butuh spiritual tinggi. Selain itu, kebersihan hati beliau sehingga bagaimana gaji beliau bisa mencukupi keluarga dan empat anaknya. Dari perenungan dan laku ini, tidak heran jika beliau menemukan ilmu hikmah sejati. Sederhana kan? Tetapi sesungguhnya laku yang berat. Di TNI taruhan nyawa, masalah ekonomi, kalau tidak arif, maka akan menjadi gila atau justru menjadi penjahat.
Beliau adalah salah satu insan yang berani menginjak pusaka ampuh, jenglot, dsb, seperti menginjak-injak tahi ayam saja. Dimana terkadang orang lain justru menyembah- nyembah benda tersebut. Minimal, carilah guru/ kyai seperti itu, selain harus dilihat tingkatan ilmunya, lihat pula track record dan pola kehidupannya sehari- hari, harus agamis, sabar, sederhana, ikhlas dan tidak sombong.
“Assalamu’alaikum,” sapa Itkas.