Bocah Angin

Arief Setiawan, M.M.
Chapter #5

TURUN GUNUNG

“Belum dikatakan keimanan dan keikhlasan tinggi bagi wanita, jika belum mengizinkan suaminya menikah lagi. Pun demikian, belum dikatakan keimanan dan keikhlasan tinggi bagi pria, jika t’lah diizinkan menikah lagi, dia dengan senang hati menjalankannya. Karena, belum satupun alasan yang dapat diterima nalar pria sekarang yang menikah lagi, selain alasan “nafsu”. Meskipun dilakukan oleh ulama kondang sekalipun.”

***

Sesuai janjinya kepada Kyai Tulus, maka Itkas mencari kediaman keluarga SAMARA di sekitar kampungnya. Agak gampang mencarinya, tinggal mencari letak lokasi yang tidak bisa didengar suara anginnya dan berwarna jernih, kemudian bertanya kepada masyarakat sekitar. Ternyata, ada empat lokasi seperti itu. Dalam hati Itkas, tak henti-hentinya mengucap hamdallah. Semakin banyak saja insan mulia sekarang. Itkaspun bertanya setelah mendengar suara angin kepada warga sekitar. Di lokasi pertama, ternyata adalah anak yang cacat. Amalnya, karena dia belum memiliki dosa sama sekali. Sepanjang hidup hanya berada di rumah dan menghapal serta melantunkan ayat suci al-qur’an. Itkaspun melanjutkan pencariannya.

  Di tempat kedua Itkas juga bertanya kepada seorang bapak, warga sekitar.

“Maaf, Pak. Apakah benar di sini ada insan baik hati?”

“Maksudnya gimana ya, Mas?”

“Yang baik hatinya, terhindar dari dosa, taat beribadah, jujur dan ikhlas.”

“Oh, kemungkinan keluarga Pak Sabar, Mas. Mereka sudah menikah 30 tahun, belum dikaruniai anak. Tetapi tetap langgeng pernikahannya. Pak Sabar tidak pernah berniat menikah lagi.”

“Iya, benar itu, Pak. Rumahnya di mana, ya?”

“Rumah cat hijau. Dari sini lurus saja, belok kanan. Nanti ada rumah yang banyak pohon jambunya. Nah itu, Mas.”

“Baik. Terima kasih, ya.”

“Mmmmm. Ada keperluan apa, ya?”

“Saya dapat amanat dari guru pondok saya, Kyai Tulus supaya menimba ilmu kepada orang yang akhlakul karimah.”

“Iya, betul itu, Mas. Saya saja sebetulnya tersentuh. Meskipun kadang, tidak habis pikir. Kok sanggup pria seperti Pak Sabar itu. Keturunan kan hal penting. Masak, demi cinta kepada istri sampai rela tidak menikah lagi.”

“Nah, justru itu yang ingin saya ketahui, Pak. Terima kasih petunjuk jalannya ya,” Itkaspun melangkah pergi mencari rumah yang dimaksud berdasarkan petunjuk si Bapak.

Sampai di rumah yang dicari, Itkas segera mengetuk pintu.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam. Mencari siapa, Dek?” tampak wanita separuh baya membuka pintu.

“Mencari Pak Sabar, Bu. Apakah beliau ada di rumah?”

“Oh, Pak Sabar baru di kandang. Sebentar ya, saya panggilkan.”

“Baik, Bu.”

“Adek, tunggu saja di dalam.”

“Nggak papa, Bu? Saya sebetulnya agak nggak enak, kita kan belum kenal sama sekali.”

“Nggak papa, Dek. Silahkan. Sudah biasa kalau ada tamu baru juga saya persilahkan ke dalam. Kalau suami saya baru pergi ya saya panggilkan. Maaf, kalau maksudnya masalah barang-barang di rumah, itu saya pasrahkan Allah. Selama ini juga aman.”

“Baiklah kalau begitu, Bu. Terima kasih atas kepercayaannya.”

“Iya, Dek. Sebetulnya bisa menunggu sampai suami saya pulang. Akan tetapi karena kita bukan muhrim, maka lebih baik saya panggilkan saja beliau.”

“Iya, Bu.”

Si ibupun melangkah pergi ke luar halaman. Itkas tetap duduk di teras, tidak masuk ke dalam. Perasaan tidak nyaman tetap menggelayuti pikirannya. Tidak berapa lama, ibu telah datang bersama seorang pria seumurannya, “Kemungkinan, itu Pak Sabar,” pikir Itkas.

“Assalamu’alaikum. Perkenalan, saya Pak Sabar. Adek ini siapa, ya?” sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Sedangkan si ibu pergi masuk ke dalam rumah.

“Wa’alaikum salam. Saya Itkas Pak. Tetangga sebelah kampung. Dari Kampung Blandong.”

“Oh. Ada perlu apa, ya? Silahkan, masuk ke dalam.”

“Oh, iya. Terima kasih. Saya ada amanat dari Kyai Tulus untuk bertemu dan menimba ilmu dari njenengan.”

“Oh, Kyai Tulus Magelang?”

“Benar, Pak.”

“Memang, banyak santri beliau yang main ke sini. Nanya amalan saya. Padahal, saya juga biasa saja. Hidup biasa dengan istri saya, ibadah juga biasa.”

“Sekilas tadi, dari tetangga njenengan, katanya kesetiaan njenenganlah yang menjadi kelebihan njenenengan.”

“Oh, soal itu tho. Padahal juga biasa saja. Saya setia dengan istri saya. Soalnya sudah berikrar sehidup semati. Pun, meski istri saya mengizinkan menikah lagi, saya tetap tidak mau karena saya merasa tidak bisa adil kepada semua istri saya.”

“Nah, inilah kelebihan njenengan yang perlu saya pelajari, Pak. Tetapi, apakah njenengan tidak tersentuh kisah Nabi Ibrahim yang menikah lagi karena tidak punya keturunan dengan istri pertama? Atau Rasulullah yang istrinya sampai empat dalam satu waktu.”

“Nabi Ibrahim langsung mendapat wahyu dari Allah untuk menikah lagi, Dek. Kemudian Rasulullah menikah lagi karena faktor untuk membantu wanita yang ditinggal mati suaminya dan juga faktor syiar Islam. Tentunya Rasulullah memperoleh petunjuk Allah melalui malaikat Jibril untuk melakukan hal tersebut. Memilih mana wanita yang terbaik, apa konsekuensi dan dampak positifnya bagi syiar islam. Di sisi lain, budaya arab jika membantu, harus dinikahi. Selain itu, ada unsur penyebaran islamnya. Sedangkan saya? Ilham dari Allah tidak ada. Hati tidak mau untuk menikah lagi. Budaya jawa juga berbeda dengan arab. Jadi, perlu dibedakan budaya arab dengan aturan islam. Soal dakwah, tidak harus dengan menikahi orang lain. Zaman sekarang pengajian/kultum/penyebaran islam sudah meluas. Jadi tidak perlu metode menikah dengan non muslim itu.”

“Ustadz ternama saja menikah lagi kok, Pak?”

“Mungkin mereka bisa adil. Tapi, beberapa memang salah kaprah, Dek. Lihat saja, yang dinikahi selanjutnya, biasanya lebih cantik dan lebih muda dari istri sebelumnya. Kalau bukan karena nafsu, terus alasan apa, Dek?”

“Benar juga, ya. Tidak semua perkataan dan perilaku mereka dimakan mentah-mentah. Harus dipilah, diambil yang baik dan dibuang yang buruk.”

“Iya, Dek. Sekarang, justru anak saya banyak. Meskipun anak angkat. Sudah 10 lebih anak angkat saya di Panti Asuhan “Peduli”, Dek.”

“Nah, ini juga kunci iman dan keikhlasan njenengan, Pak. Njenengan mau merawat anak yang biasanya sudah tidak diinginkan orang tuanya, sengaja dibuang ataupun sudah ditinggal mati orang tuanya. Menganggap mereka seperti anak njenengan sendiri. Andai saja semua orang seperti njenengan, mestinya tidak ada anak terlantar lagi, Pak.”

“Alhamdulillah bisa memberi sedikit peran untuk sesama, Dek.”

“Iya. Terima kasih ilmunya ya, Pak.”

“Jangan terlalu serius, Mas. Ini hanya sharing pengalaman saja. Saya lakukan semampu saya.”

“Betul, Pak. Oh iya, Bapak kenal dengan seorang nenek pengusaha mete yang baik hati?”

“Oh, itu Nenek Tinem. Rumahnya 2 km dari sini. Ikuti saja jalan depan rumah saya ini ke selatan sampai mentok. Sampai menemukan sungai, nah rumah beliau di pinggir sungai itu. Cari saja yang banyak kulit metenya. Mau ke sana, Dek?”

“Iya, Pak. Ini juga amanat Kyai Tulus.”

“Mmmmm. Semoga tercapai hajat njenengan, memperoleh ilmu yang baik, dan bisa memanfaatkan ilmu tersebut untuk mencari ridlo Allah.”

Lihat selengkapnya