Akhirnya, Itkas pulang lagi ke kampung halaman.
Kampung Halaman
Mewangi; di ketiadaan janji
Semerbak bak bunga, dengan warna semarak
Ku ‘tlah hilang; jadi sang kumbang
Berkelana; di hutan belantara
Tujuh tahun ku berpeluh
Terbang tinggi; di dunia yang tak kumengerti
Asing, diriku semakin terasing
Rindu ibu; tempat lahirku
Di akhir saumku; di masa itu
Memori; perjalanan diri
Tuk kembali; pada tanah sejati
Kulihat bahtera; t’lah sampai dermaga
Kucium lagi, bau ibu pertiwi
Yang harumnya; t’lah kulupa
Ombak gelombang; tak mampu menghadang
Niatku kembali; ke tempat nan suci
Setelah Itkas bertemu Pak Kajib, hati mereka berdua pun diliputi kegembiraan. Sudah lama sekali Itkas ingin bertemu Pak Kajib dan menceritakan pengalamannya sambil minta pendapat.
Kini, tinggal digunakan untuk sesama ilmunya itu. Seperti pedang, harus diasah supaya tidak tumpul. Layaknya bunga, harus memberi harum bagi sekitarnya.
Di sisi lain, harus tetap belajar. Di atas langit, masih ada langit. Sampai yang tertinggi adalah Allah ta’ala. Ilmu dunia hanya 1, dibandingkan 1001 ilmu Allah. Lalu, layakkah kita membusungkan dada? Tidak, kita harus menunduk seperti ilmu padi.