Bocah Angin

Arief Setiawan, M.M.
Chapter #7

INFORMASI TENTANG PELET DAN DUKUN

Malam jum'at, perasaan kurang enak. Kemudian Joyo mondar- mandir di depan rumah. Dia berkonsentrasi, datanglah beberapa bayangan manusia. Inilah yang disebut dukun rogoh sukmo[1]. Joyo pura- pura tidak melihat. Salah satu dukun, si dukun berkepala botak dan bersarung menertawakannya, dikira Joyo tidak tahu.

“Wek, cah bayi e macem- macem gene ra isoh weruh sukmaku[2].” Kata dukun tersebut.

Kemudian Joyo merapal ayat kursi dan kemudian menyemburkan nafasnya dari mulut ke arah dukun. Akhirnya dukun berteriak dan pergi. Saat ia tanyakan seorang Kyai ternyata benar, dan yang dilakukannya itu sejenis ilmu nogo geni[3] versi islam. Inilah mukjizat kekuatan ayat al-qur'an.

Cara lain yang Joyo tahu adalah mengambil batu, kemudian dibaca al-fatihah dan surat lain semampunya kemudian lemparkan di tempat yang dirasakan menakutkan. Seperti melempar jumroh saat haji. Ini pengalaman temannya di kantor ketika beliau pernah ketakutan, dan hasilnya ada suara gedebuk sambil mengaduh. Kalau dia sendiri masih suka dengan naga geni versi islam.

Malam jum'at yang lain, perasaan Joyo tidak enak lagi. Dalam bayangan tampak burung, harimau dan sosok besar di atap genteng. Lama, sosok tinggi besar ini yang paling kuat. Dibacakan ayat apapun tidak mau pergi. Setelah dia bertanya kepada seorang Kyai, burung dan harimau memang kiriman dukun, sedangkan sosok tinggi besar justru khodam pusaka leluhur yang katanya membantunya. Kok malah dia usir ya? Itulah mengapa dia tidak pernah membenci apapun kini. Karena semua adalah ciptaan Allah. Semua harus dihormati karena menghormati penciptanya. Toh, dimensi ruang hidupnya berbeda sehingga tidak perlu saling mengganggu.

Setelah seharian ke pasar membeli perlengkapan sablon, Itkaspun rebahan di tikar kumalnya. Meluruskan punggung untuk menghilangkan penat. Pikirannyapun melayang.

“Belum sempat membersihkan halaman belakang. Belum sempat menengok kebun juga. Boro- boro membersihkan kebun, nengokpun belum. Ah, kalau sudah longgar saja,” gumamnya.

“Assalamu’alaikum,” suara orang memberi salam sambil mengetuk pintu. Tok. Tok. Tok. Suara yang sangat familiar bagi Itkas, suara yang sangat menenangkan hati. Suara Bapaknya baginya. Ya, pengganti Bapak kandungnya yang telah meninggal. Suara yang amat dirindukannya. Suara seseorang yang selalu membantunya, meskipun seluruh dunia membencinya. Meskipun seluruh dunia menganggapnya aneh karena dianggap orang gila yang bicara sendiri dengan angin.

“Wa’alaikum salam,” lantang suara Itkas setengah berteriak sambil salto melompat dari tempat tidurnya. Berlari sekencang- kencangnya menyongsong Pak Kajib. “ Pak Kajib,” katanya sambil memeluk orang yang berada di depannya.

“Ya Allah, Kas. Baru pulang kamu. Kok pergi lama sekali. Pergi juga nggak ngasih kabar.”

“Bapak dulu pas mudik, Pak. Saya kesepian, sekalian berkelana sajalah. Di sini nggak ada teman curhat. Adanya teman barter. Itupun aku tahu kalau mereka baik karena ada maunya. Mbodohin aku. Tomat sekilo Rp 10 ribu, punyaku dibeli sekilo Rp 2 ribu,”

“Iya, Kas. Alhamdulillah. Yang penting kamu sudah pulang dengan selamat. Mudah- mudahan, apa yang kamu cari juga telah kamu peroleh.”

”Alhamdulillah, Pak,” jawabnya. Sambil bercerita perjalanannya. Selama ke Weleri bertemu Indigo yang baik hati, mondok ke tempat Kyai Tulus di Magelang, bertemu keluarga Samara dan bertemu dengan Mbah Mete yang ternyata tetangga desa, dll.

Pak Kajibpun menyimak cerita Itkas dengan seksama. Tiada sepenggal kisahpun yang terlewat. Semua dilahap habis dan dimasukkan ke relung hati terdalamnya. Baginya, Itkas adalah anaknya juga. Sering Itkas menginap di rumahnya. Bahkan disuruh menetap terus, tapi Si Itkas tidak mau. Dan Pak Kajib sejatinya sangat mahfum, Itkas rikuh dengan istri dan anak kandungnya. Tak enak hati bagi Itkas, jika menetap di rumahnya. Pun kini, Itkas adalah adik kelas dari guru spiritualnya. Ikatan akhirat yang tidak bisa dibatasi ikatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Aliran) maupun keluarga.

Obrolanpun berlanjut termasuk ke hal remeh- temeh lainnya. Sambil sesekali bernostalgia mengenang masa lalu mereka sebelum Itkas menghilang.

“Masih bisa mendengar suara yang terbawa angin, Kas?” Pak Kajib mulai mengganti topik pembicaraan.

“Masih, Pak.”

“Bertahun- tahun mondok di Kyai Tulus, dapat ilmu apa aja kamu?”

“Kan sama dengan njenengan, Pak. Seguru seilmu kita. He. He. He. Ilmu hikmahlah.”

“Alhamdulillah. Kok belum hilang ilmu kuping anginmu?”

“Harus pelan- pelan kata Kyai Tulus, Pak. Sudah terlanjur mendarah daging ilmunya. Kalau langsung frontal, bisa hank bahkan koid[4], sayanya, Pak.”

“Ha.ha.ha. bisa aja kamu, Kas.”

“He. He. Memang begitu kok Pak.”

“Iya. Iya.”

“Gimana perkembangan ilmu hikmah/ spiritual Pak Kajib sendiri?”

“Alhamdulillah, Kas. Masih terus, dan alhamdulillah meningkat menurutku. Karena ilmu itu harus dipraktekkan, harus diasah dan butuh jam terbang tentunya.”

“Oh iya, Pak. Apakah sering membantu orang juga? Saya dipesenin Pak Kyai untuk memakai ilmu saya guna membantu orang yang baru kesusahan, Pak.”

“Kebetulan kamu tanya, Kas. Aku ada umat yang membutuhkan bantuan teramat berat. Taruhan nyawa dan akidah. Bahkan levelnya sudah mirip kita umat yang butuh bantuan ini sebetulnya. Cuman, masalahnya memang benar- benar pelik. Sebut saja musuhnya adalah dukun yang bisa memindahkan gunung. Dukun ini berasal dari Wonosari. Dukun ini ahli rogo sukmo. Serta dukun santet dari daerah Bayat.”

“Ya Allah. Itulah, Pak. Ngomong iman dan ilmu sih gampang ya. Prakteknya itu yang susah. Gimana cerita lengkapnya, Pak?”

“Ujian Si Joyo ini sangat berat. Yaitu guna- guna terhadap ayahnya dan santet terhadap mertuanya. Ibu Joyo almarhum sejak lama. Guna- guna ini awalnya karena Bapak Si Joyo dapat telepon nyasar dari seorang cewek. Suara nan merdu, sedikit manja dan tata pilih diksi yang sempurna menggambarkan kecerdasannya. To the point aja ya. Penipu kan tipikalnya begitu. Padahal rumah Joyo di Sleman, demi pujaan hatinya itu, Bapaknya Joyo selalu pulang pergi Sleman Wonosari setiap hari. Joyo awalnya belum tahu. Ngakunya, Bapaknya ini ronda setiap malam. Jadi, pukul 21 malam keluar dan keesokan harinya pukul 05 sudah di rumah. Kejadian ini semenjak Joyo belum menikah. Mereka tinggal bareng satu perumahan. Sangat sulit terlacak, Joyo sibuk bekerja. Di sisi lain, rumah selalu bersih dan makanan selalu tersedia. Meskipun ini ada andil kesalahan Joyo. Sudah sangat lama bapaknya menduda, tapi belum juga dicarikan pendamping pengganti almarhum ibunya,” Pak Kajib berhenti sejenak sambil mengambil nafas. Tampak raut mukanya sedih. Mungkin larut dalam cerita Si Joyo ini.

“Wah, kasihan juga ya, Pak,” sahut Itkas.

Masih dengan tatapan wajah sayu yang menyemburatkan kesedihan, Pak Kajib melanjutkan ceritanya: “ Jadi, mereka tinggal bertiga bersama adik Joyo yang saat itu masih kelas 2 SD. Dalam merawat adik, semisal antar jemput s.d cuci baju dan setrika tidak ada hal yang terlewat. Tidak tampak keanehan yang berarti. Yang sedikit berbeda mungkin adalah uang harian. Yang biasanya 50 ribu sehari cukup, ini butuh 100 ribu sehari. Di kemudian hari, inilah biaya untuk PDKT Bapaknya Joyo terhadap wanita tersebut. Baik ongkos bensin maupun untuk membeli buah tangan mungkin,” Pak Kajib menjeda ceritanya. Tetap dengan mimik sedih. Mungkin juga sambil mengingat- ngingat kejadian utuhnya.

“Inilah, Pak. Kadang aku sebagai orang yang belum berumah tangga tidak mengerti hal begini. Memang butuh jam terbang ya kita?” Itkas menyela. Berusaha membunuh sepi dan mengembalikan konsentrasi Pak Kajib.

“Betul. Kulanjutkan ya. Kejadian seperti itu berlangsung sekitar dua bulan. Sampai Joyo mendengar berita buruk tentang bapaknya. Bak disambar petir di siang bolong. Laksana dadanya menerima pukulan hammernya Thor. Ibarat tersetrum listrik 10.000 watt. Bapaknya digebrek oleh masyarakat Wonosari dan dipaksa menikahi sang wanita. Kabar ini diketahui Joyo dari pamannya di Kendal. Pamannya adalah pensiunan tentara. Pamannya ini sangat sayang kepada Bapaknya Joyo. Sehingga, ada hal penting apapun Bapaknya Joyo selalu menghubungi adiknya tsb. Pernikahan siri tsb sudah terjadi seminggu sebelumnya, dan Joyo mengetahuinya dari mulut sang Paman. Menurut pamannya, Ayah Joyo sengaja dijebak oleh beberapa gelintir orang. Bahkan, ketua RT di wilayah tersebut mengingatkan bahwa sang wanita bukan orang baik, terjun di dunia hitam dan satu lagi: anaknya banyak. Aparat desa juga tidak menyukai penggebrekan tersebut sebetulnya. Yang menggrebek  juga beberapa gelintir orang yang ternyata saudaranya si wanita. Keanehan pertama tentang spiritual adalah saat Bapaknya berusaha mengenalkan Ibu tiri Joyo kepadanya. Bapaknya mengatakan ingin mengenalkan istri sirinya tersebut dan telah menunggu di perumahan milik Joyo. Kebetulan jam istirahat, iapun meluangkan waktu untuk silaturahmi tatap muka kopi darat tersebut. Sampai di perempatan jalan masuk gang perumahan yang ada sungainya ada hal aneh terjadi. Ia melihat seseorang berpakaian layaknya kyai/ ustadz terlihat duduk di atas jembatan. Harum minyak zaparon menyengat sampai jarak 10m masih tercium. Sangat jelas terlihat. Merasa penasaran, ia mencoba melihat lagi dari kaca spion motornya, ternyata orang tersebut raib. Lupa kuberitahu, Joyo ini juga anak indigo. Beberapa hal ghaib dapat dia mengerti. Hanya saja, untuk hal ghaib yang ini, dia tidak bisa menganalisis. Entah jin atau ada ilmu rogo sukmo tingkat tinggi. Faktanya, jika rogo sukmo tidak mungkin fisiknya terlihat dengan mata telanjang. Apakah ini rogo sukmo tingkat tinggi yang sampai membelah jasad fisik menjadi banyak? Semisal Ilmu Membelah diri ala Prabu Siliwangi? Joyo sampai sekarang belum bisa memecahkan teka- teki tersebut,” Pak Kajib berhenti lagi.

“Wah, menarik sekali, Pak. Bahkan di pondoknya Kyai Tulus, tidak ada ilmu seperti ini. Mungkin memang sangat hebat ilmu mereka, Pak. Buktinya sampai tersohor bisa memindahkan gunung. Palingan aku mendengar cerita dari Kyai Tulus kalau di Magelang ada orang yang bisa ilmu menayuh[5] memindahkan janin ke perut wanita lain, atau menayuh pusaka supaya wujud dan akhirnya digunakan sebagai pusaka milik pribadi ataupun dijual.”

“Iya, Kas. Mungkin. Nanti coba kamu cek juga ya tentang kondisi Si Joyo tsb. Kulanjutkan ceritanya. Sesampainya di rumah, tidak lagi terlihat Bapaknya yang dulu santun. Wajahnya garang, mata memerah dengan nafas terengah- engah. Seperti orang marah. Baik, kuilustrasikan begini:

“Assalamu’alaikum, Pak,” sapa Joyo.

“Kok baru pulang!” tanpa menjawab salam Joyo, bapaknya menyahut dengan muka mendelik dan suara ketus dengan nada bicara yang tinggi.

Lihat selengkapnya