Ini sudah kali ketiga, usai dua percobaan sebelumnya gagal.
“Akan ku pastikan dia mati malam ini.” Indah yang terlanjur tumbuh tidak elok, sudah berusia tujuh belas tahun kini.
Dengan seragam SMA lusuh, tas ransel tua yang telah dipakai sejak kelas tujuh, juga sepatu putih yang menguning. Siapa yang peduli dengan penampilannya, jika wajah cantiknya mampu menutupi semua kekurangannya.
Indah tidak berjalan menuju sekolahnya, kali ini dia membolos lagi. Dia takkan coba-coba lagi kali ini, mencekik saat tidur, meracuni makanan, justru ia yang hampir dihampiri maut, itu bagai bumerang. Namun kali ini berbeda, ia sudah merencanakannya dari dua bulan yang lalu.
“Ayah tak pantas hidup.” Jijik rasanya karena ia harus memanggilnya dengan sebutan Ayah. Indah berhenti ketika menemui kaca jendela toko yang memantulkan bayangannya. Wajah datar dan bibir pucatnya tertutup rapat. Rambut kering mengembangnya dibiarkan terurai begitu saja, ia memiliki gelang karet di lengan kanannya, namun pagi ini tak ia gunakan untuk menguncir rambut mengembangnya seperti biasa. Ia tatap plester yang melekat di bawah mata kiri, itu luka baru usai berkelahi dengan Ayahnya yang mabuk tadi malam.
Indah diselimuti amarah setiap hari, setiap waktu, lihat lah saat mengganti plester baru tadi luka itu bahkan belum kering, darahnya masih merembes. Bukan masalah besar bagi Indah, luka, lebam, berdarah, sudah makanan sehari-hari. Tulang rusuknya bahkan sudah berkali-kali patah.
Ia kembali berjalan, ia baru ingat stok obat luka, plester, juga perban di kamarnya sudah habis. Namun Indah tiba-tiba berhenti.
“Benar juga, aku tidak membutuhkan itu semua lagi. Mulai malam ini aku akan baik-baik saja, aku akan benar-benar baik-baik saja.” Indah tak punya rencana pagi ini, ia hanya menunggu malam tiba.
Ia berjalan berbalik arah, kali ini dia benar-benar berangkat sekolah meski ia sadar ia sudah cukup terlambat. Usai melihat hiruk pikuk jalanan, menyaksikan setiap orang dengan emosi mereka masing-masing, Indah tertarik dengan satu emosi yang ditunjukkan oleh segerombolan anak-anak SD yang menyebrang perempatan tadi. Mereka tampak riang. Di usia itu mereka dapat merasakan emosi itu, entah lah Indah mungkin cemburu pada mereka. Indah penasaran, ia lupa rasa itu, mungkin dia bahkan tidak pernah tahu rasa itu. Tapi Indah percaya dulu bersama Ibunya Indah pernah bahagia.
Ibunya menghilang saat ia baru berumur enam tahun. Hari itu adalah memori masa kecil yang paling melekat diingatannya, ia tak ingat apa yang terjadi dengan keluarganya sebelum itu, namun selama dua hari Indah tidak lagi melihat Ibunya di rumah, saat bertanya dengan Ayahnya pun ia justru dimarahi. Setelah seminggu berlalu, Indah berinisiatif untuk mencari Ibunya, anak perempuan enam tahun itu merindukan Ibunya.
Sore itu di taman bermain, tepat di akhir pekan, ramai dikunjungi oleh para orang tua dan anak-anaknya. Indah tak pernah lupa ada seorang paman yang hendak mengantarkannya pada Ibunya, namun sore itu ia justru diculik. Itu sarang pedofil, ia ingin dijual pada seorang pengusaha kaya. Disekap selama beberapa hari bersama anak-anak lain di ruang tak layak huni. Satu diantara anak-anak lain itu, berhasil kabur dari tempat itu bersamanya. Seorang remaja lelaki tanggung yang terus menggandeng tangan kecilnya selama aksi melarikan diri itu. Remaja tanggung itu bahkan mengantarkannya sampai depan rumah.
“Eki mau pulang? Rumah Eki di mana?” Indah kecil menarik baju remaja tanggung itu saat ia hendak pergi.
Remaja itu tersenyum, bukan senyum biasa, remaja itu memiliki senyum yang sexy. “Bukan Eki...” ia mengambil bilah kayu kecil, mengukir sesuatu di atas semen basah di halaman rumahnya. Ayahnya yang membuat jalan setapak ini di halaman rumahnya tadi sore.
Remaja tanggung itu mengukir sebuah nama Alexi.
“... tapi Alexi!” Serunya sembari mengusap lembut kepala Indah. Tak butuh waktu lama, remaja lelaki tanggung yang bernama Alexi itu pergi entah kemana.
***
Indah tidak mungkin melupakan Alexi, meski tak mengingat bagaimana bentuk wajahnya, namun namanya terukir abadi di semen basah itu hingga kini. Tadi setelah menutup pagar halaman, Indah kembali melirik nama itu, hal itu selalu ia lakukan sebelas tahun terakhir.
“Haah... sekarang dia di mana ya?” lirih Indah saat dia tiba di sekolah. Ia menyusuri koridor sembari menguncir rambut berantakannya menuju kelas. Indah mengetok pintu kelas, tentu saja ia terlambat, kelas sudah dimulai sejak satu jam yang lalu. Tanpa menunggu persetujuan yang di dalam, Indah masuk begitu saja ke dalam kelas, melewati guru dan teman-teman sekelas yang menatapnya sinis. Ia tak peduli, ia menghempaskan tasnya ke bangkunya di belakang kelas.
“Indah Analee! Kamu terlambat lagi!” Teriak Bu Guru di depan.
“Iya Bu...” sahut Indah sembari mengeluarkan buku dan alat tulisnya.
“Haaah... jam istirahat kamu ke ruang BK!” Bu Guru mendengus panjang.
“Baik Bu...” sahut Indah lagi.
“Indah!”
“Iya Bu?” kali ini Indah mendongak menatap Guru Matematikanya.
“Bisa kerjakan soal di papan tulis?”
Indah melirik sebentar deretan soal Limit Fungsi di papan tulis, lalu tersenyum. “Bisa Bu!” serunya.
Bel istirahat berdering, Bu Guru bergegas mengakhiri pembelajaran, ditutup dengan salam dari seluruh murid. Rutinitas yang biasa saja menurut Indah. Ia pun bergegas membereskan alat tulisnya, hendak ke ruang BK, sebelum Bu Guru meneriakinya untuk kedua kalinya.
“Indah muka kamu kenapa?” tanya Bayu menghampiri, sambil menunjuk-nunjuk plester di wajah Indah.
“Butuh gosip apa lagi?” Jawab Indah ketus.
“Ih bukan aku, tapi Rika! Dia bilang kamu punya cupang di leher karena tiba-tiba gak kuncir rambut lagi akhir-akhir ini. Udah sembuh ya?” Bayu melihat-lihat leher Indah, tidak ada yang aneh pikirnya.