Bocah dari Lembah Pesakitan

Auli Inara
Chapter #2

Wanitanya

“Bagaimana dengan rekaman CCTV?” tanya seorang wanita berambut curly sebahu, sambil menggambar reka ulang adegan pembunuhan di notebooknya. Ia tak perlu melakukannya sebenarnya, namun ia suka menggambar.

“Ini semua rekaman CCTV di sekitar TKP di waktu kejadian, beberapa tersangka sudah kami amankan, terutama anak korban! Waah... saat melihat matanya saja aku yakin dia punya gangguan jiwa!” jawab seorang dengan jaket denim, memakai name tag polisi. Ia menyerahkan flashdisk lalu berkacak pinggang memperhatikan setiap detail reka ulang adegan pembunuhan yang terjadi di senin malam.

Wanita yang memiliki tahi lalat di sisi kiri hidungnya itu tersenyum tipis. “Kalau memang begitu, kita tidak dapat menuntunnya.” Ia terus fokus menggambar. Tergambarkan di kertas itu bagaimana sang korban yang dipukul kepalanya dengan benda tumpul sehingga ia terjatuh dan mati seketika karena geger otak.

“Ya, kau benar. Sepertinya firasat ku kali ini salah! Namun, kita masih harus menyelidikinnya lebih lanjut kan!” Ia menggaruk tengkuknya yang gatal. Pria itu berkulit gosong, dengan rambut ikal yang sudah mulai panjang, ia mengikatnya karena terasa mengganggu.

“Iya, kirimkan berkasnya ke firma hukum, aku akan memeriksanya!” Selesai reka ulang kejadian, selesai pula ia menggambar. Ia masukkan buku dan pensilnya ke dalam tas selempangnya. Ia tak berniat untuk memeriksa ulang TKP atau pun CCTV, ia datang hanya niat untuk menggambar.

“Yang benar saja! Aku pikir kau akan berkeliling area dulu atau memintaku untuk mengatur jadwalmu memeriksa tersangka!” Tino berkacak pinggang lagi menatap wanita itu heran, tidak pernah ia seperti ini pikirnya.

“Ku pikir aku bekerja terlalu berlebihan, tugas kalian melakukan penyelidikan, tugasku untuk memastikan pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal.”

“Apa kau sedang mengurus banyak kasus?” tanya Tino yakin, menurutnya wanita ini adalah partner yang sangat baik. Sudah ada banyak kasus yang ditanganinya selama beberapa tahun terkahir, dan yang luar biasanya ia selalu menang telak. Pekerjaan penyelidik menjadi sangat terbantu, wanita itu dapat melihat celah yang tak terlihat oleh mereka, dapat terpikir sesuatu yang tak terpikirkan oleh mereka. Entah karena memang wanita yang hebat atau mereka saja yang bodoh.

“Tidak, rak ku kosong, hanya ada beberapa berkas kasus di mejaku. Tingkat kriminalitas sepertinya menurun akhir-akhir ini. Ku rasa aku butuh liburan!” ia mulai beranjak keluar dari rumah tersebut.

“Kau serius? Kenapa tiba-tiba?” Tino mengikutinya.

“Entah lah, aku merasa kosong.”

“Kenapa?”

“Karin! Karina!” Panggil seseorang bersuara bariton yang baru turun dari mobilnya, ia melambai.

“Karena orang itu!” Karina mengangkat tangannya, ia tersenyum lebar.

Tino manyun memperhatikan orang yang dimaksud, sedangkan Karina langsung pergi melewati garis polisi dan menghampiri Alexi.

“Kok bisa di sini?” tanya Karina. Ia menatap cuek pada Alexi, berusaha ia sembunyikan senyumannya.

“Tadi gue ke Firma, tapi lo gak ada. Pak Besri bilang ‘ya... ke mana lagi sih anak itu kalau bukan meriksa kolong lemari atau bongkar pasang CCTV’.” ucap Alexi menirukan cara bicara Pak Besri dengan tawa kekehan khasnya.

“Hahaha hahaha...” Karina tidak dapat menyembunyikannya lagi, ia tidak tertawa berlebihan begitu karena ucapan Pak Besri, ia hanya senang.

Alexi tersenyum puas, senang rasanya ia dapat menemui sahabatnya ini lagi. “Oh ya udah jam makan siang, makan dulu kita!”

“Okee... lo yang traktir yak!” Karina tersenyum puas.

“Iya.. Iya... siap!” Alexi langsung merangkul bahu sahabatnya sejak di bangku kuliah itu, dan masuk ke dalam mobil.

Usai memakai seatbelt Alexi melajukan mobilnya keluar dari jalan sempit ke jalan raya. “Bagaimana sama pekerjaan baru lo?” tanya Karina santai.

Alexi tersenyum lebar, “makin menarik!”

Karina mendengus sebal, karena pekerjaan baru Alexi itu lah ia jadi tidak dapat menemui Alexi lagi setiap hari di Firma Hukum mereka. Sejak kuliah mereka sangat lengket hingga bekerja di firma hukum yang sama selama lima tahun belakangan. “Yaa... dan firma semakin hari semakin suram saja.”

Alexi tersenyum lagi, “bukannya tujuh bulan lalu lo senang pas tahu gue gak kerja lagi di firma.” Ia memutar stir dengan tangan kiri saat melewati tikungan.

“Jelas lah, kerjaan lo di situ kan ya cuma gangguin kerjaan gue!” Karina mendecak sambil melipat tangannya. “Tapi sekarang malah jadi suram banget, yang gue lihat tiap ya cuma muka buluk bapak-bapak penuntut umum yang strees!”

“Hahaha muka Pak Besri maksud lu? Iya juga, perasaan baru beberapa bulan sejak terakhir ketemu, ubannya udah nambah aja!”

“Tapi lo serius sama ngajar di kampus kita dulu? Kalau lo balik sekarang firma pasti masih mau nerima lo kok! Lagi pula lo kan gak dipecat!”

“Udah kepalang malu duluan gue! Gua kan bukan jaksa yang selalu dapat reward di traktir setiap berhasil menangin sidang!” Alexi melirik Karina sedikit, seolah menunjukkan sindiran itu pada Karina sendiri. “Ada banyak kasus yang gue tangani gak tuntas, Pak Besri juga jadi gak fokus kerja karena kerjaannya tiap hari ya cuma ngomelin gue soal berkas kasus yang udah menggunung.”

“Lex, lo itu cuma males doang! Lo itu lulusan terbaik di kampus! kemampuan lo juga gak bisa dianggap remeh, tahun lalu lo bahkan berhasil memenjarakan seumur hidup pembunuh berantai The Parent Muderer!”

Alexi tersenyum lagi bukan senyum seksi seperti yang biasa ia tampilkan, melaikan senyum miring, senyum yang menunjukkan siapa dirinya, senyum yang membuat Karina sedikit bingung.

“Gue bekerja keras menjebloskan dia ke penjara, karena aksinya itu sudah meresahkan warga kota. Gue geram juga karena dia sering mengirimkan surat teror ke kantor polisi. Dasar psikopat gak punya otak!” Alexi membunyikan klakson mobil pada mobil di depan yang tidak juga bergerak setelah lampu lalu lintas berubah hijau. Alexi tampak geram sekali, pada pengemudi di depan.

Lihat selengkapnya