Alexi mengelus lembut puncak kepala Ratu, wanita dua puluh tujuh tahun itu tertidur pulas di kasurnya setelah kejadian tadi. Tubuhnya kurus, wajahnya tirus, rambutnya pun panjang lurus, Alexi menarik selimut untuk menutupi tubuh Ratu yang dingin. Nafasnya sudah mulai teratur. Alexi tidak ingat sejak kapan Ratu alergi pada susu sapi, namun satu hal yang pasti ia ingat, kali pertama ia bertemu Ratu, sudah tiga belas tahun berlalu–mereka sudah saling mengenal selama itu.
Setelah melarikan diri dari markas perdagangan anak, Alexi mengasingkan diri ke berbagai desa yang jauh, agar keberadaannya tidak dapat dilacak. Ia bertahan hidup dengan mencuri uang, makanan, bahkan jemuran. Tidur di mana saja, asal tidak ada orang yang tahu dia di situ. Berpindah dari satu desa ke desa lain, sering berurusan dengan RT setempat, bahkan dengan polisi. Sempat dianggap orang gila, bahkan jadi bahan olok-olokan oleh anak SD yang berpapasan dengannya di jalan.
Hingga tiba ia di sebuah desa di lereng pegunungan yang asri dan sejuk, dengan lingkungan yang ramah, rukun, taat beragama, juga toleran. Tak sempat dia mencuri, penduduk di sana sudah lebih dulu memberikan makanan, minuman, juga pakaian layak. Hingga ia ditampung oleh yayasan setempat, bertemu dengan dua anak lain yang lebih tua darinya, dan lima anak lainnya yang lebih muda. Alexi hanya memberitahu namanya, saat diperiksa identitasnya tidak ada. orang tuanya tidak pernah mendaftarkan namanya di kartu keluarga. Di duga imigran gelap, namun ia keturunan Indonesia asli. Keras sekali hidup Alexi bahkan sampai saat itu.
Dia melanjutkan sekolahnya, di luar dugaan semua orang, dia pintar dan berprestasi di sekolah. Supel dan cepat akrab dengan orang baru, ia pun jadi jauh lebih banyak terseyum. Perlahan Alexi mulai menyembuhkan lukanya. Saat berusia lima belas tahun dia masuk ke SMA di desanya, di sana lah dia bertemu Ratu. Gadis itu pindah dari kota bersama orang tuanya, dan rumahnya berada tak jauh dari yayasan. Hadirnya Ratu adalah luka baru bagi Alexi.
Alexi berhenti mengusap kepala Ratu, ia menggeleng, mencoba untuk tidak mengingat lebih dari pada itu. Ratu tidak boleh disakiti sekarang, dia harus banyak istirahat dan sembuh dulu. Alexi berdiri hendak keluar dari kamar.
Indah yang sedari tadi mengintip di balik pintu, sontak langsung bersembunyi, ia bahkan menahan nafasnya.
Brakk...
“Pergi ke kamar dan tidur!” seru Alexi.
Indah yang bersembunyi di balik tembok mendengus keras, memang tak mungkin rasanya bersembunyi dari Alexi tanpa ketahuan. “Kak Ratu... gimana?” ia menampakkan diri pada Alexi dan bertanya dengan lemas.
“Dia baik-baik saja! Lebih baik kamu tidur, dan jangan membuat kegaduhan!” Alexi benar-benar jadi dingin pada Indah. Kejadian tadi bila ia bawa ke pengadilan, Indah bisa dipenjara selama bertahun-tahun atas percobaan pembunuhan.
“Aku tidak sengaja!” seru Indah. “Itu kecelakaan!” Indah menatap mesam-mesam pada Alexi.
“Bukan kecelakaan! Tapi kecerobohan! Kecerobohan seseorang yang hampir melayangkan nyawa orang lain!” Alexi berucap sinis.
“Kalau begitu kamu harus membawanya ke rumah sakit! Siapa yang dapat memastikan dia baik-baik saja hanya dengan obat seadanya?”
“Aku! Aku yang memastikan dia baik-baik saja! Dia tidak akan mati sebelum waktunya!” Indah menatap tajam senyum sinis di wajah Alexi usai berkata begitu.
“Dia gak akan mati!” lirih Indah.
***