Alexi membawa mobilnya menjauh dari tujuan sebenarnya. Dia meminta pada mahasiswanya untuk memindahkan jam kuliah. Alexi merasa menggigil saja, adanya kasih sayang di antara dua wanita itu di rumahnya membuatnya mual. Dia memarkirkan mobilnya di depan Apotek, dia membutuhkan obatnya. Yaitu siswa SMA itu.
“Hmm... dia bolos lagi kali ini.” lirih Alexi sembari memperhatikan seorang siswa berseragam SMA yang duduk saja di depan Apotek.
Seorang siswi berseragam keluar dari Apotek itu, membawa obat luka juga perban. Siswi itu membuka perban lusuh yang membaluti lengan Si siswa itu. Alexi menyeringai, “Dia berusaha bunuh diri lagi!”
Selesai perban terbuka, tampak banyak sayatan baru yang belum kering di lengannya. Siswi itu mendengus kasar. “Kamu tidak perlu memperbannya jika tidak punya perban baru!” lirih siswi itu, wajahnya menunjukkan ekspresi kecewa.
Si siswa hanya diam saja, wajahnya pucat, tatapan matanya kosong, namun hatinya hangat–dipedulikan oleh cewek itu membuatnya sedikit lebih baik.
“Lihat semua sayatan ini! Kamu pastinya benar-benar ingin mati, sampai tega melakukan ini pada dirimu sendiri.” Siswi itu hampir menangis.
“Maaf...” dia bersua.
Siswi itu tak menjawab, hanya fokus mengobati luka itu.
Siswi itu berdiri di depannya usai memasang perban, dia bersua, “aku sudah sering mengatakan ini, berhentilah menyakiti dirimu sendiri! Jika memang kamu ingin mati, mati lah diam-diam! Kamu selalu datang padaku di saat sekarat. Kamu tahu Yud, kamu bukan hanya melukai dirimu sendiri!” Siswi itu berpaling dan pergi, dia menggingit kuat bibir bawahnya, air matanya jatuh. Dia baru saja dilukai lagi.
Yudha Usagi, Si siswa di depan apotek itu hanya memandang lurus kepergian kekasihnya itu. Kemarin malam ia kembali menyayat lengannya lagi, tidak terlalu dalam, dia terbaring lemas di lantai kamarnya yang bersimbah darah. Berselang beberapa waktu dia merangkak, mencari perbannya, dia berpikir ulang untuk hidup. Dia teringat kekasihnya, orang yang mencintainya, orang yang peduli padanya. Orang yang menjadi alasannya untuk kembali hidup di saat sekarat.
Alexi masih tersenyum, sinis namun seksi. Dia membawa mobilnya keluar dari parkiran. Yudha Usagi, bukan siswa itu targetnya. Dia tidak tertarik pada boneka itu, dia lebih tertarik pada orang-orang yang mengontrol boneka itu. Ya... semua teman-temannya tahu bahwa Yudha memiliki hidup yang sempurna. Kaya, pintar, tampan, berprestasi, punya banyak teman, orang tuanya pun lengkap juga sayang dan peduli padanya–ralat! Terlalu peduli.
Namun pada akhirnya, dia tidak tahan dengan semua kepalsuan itu. Yudha tidak pernah hidup, hidupnya adalah milik orang tuanya. Orang tua? Ahh... Alexi bergairah pada kata itu, hasratnya mengambang lagi. Sudah tiba waktu baginya untuk beraksi lagi!
“I’m back!”
Malam menjelang, hujan, petir, gemuruh, mengiringi suara ketikan jari Alexi pada keyboard komputernya. Ia berpakaian santai, kaos coklat tak berlengan dengan celana pendek selutut, rambutnya acak saja tak serapi biasanya, juga kalung emas 5 gram yang melingkar di lehernya. Ia menghisap rokoknya, menghembuskan asap keseluruh penjuru ruang kerjanya.
Sebelas November, tanggal itu ditandai setiap tahunnya di kelender. Alexi menatap lamat-lamat kelender di dinding ruang kerjanya itu, lusa ulang tahunnya.
“Sudah satu tahun ya?” lirihnya.
Satu tahun bertambah lagi. Tidak ada yang tahu jika lusa lah hari ulang tahunnya. Ulang tahunnya yang ke dua puluh delapan sudah di rayakan dua bulan yang lalu bersama Karina juga teman-temannya yang lain. Alexi tahu siapa dirinya, ia ingat identitasnya. Ia hanya menyembunyikannya agar tak terlacak, kecuali nama, dia tetap menggunakan nama aslinya setelah terisolasi dari dunia luar lalu bebas.
“Besok, aku harus mendapatkan hadiah dan kue ku!”
Alexi tidak main-main, dia benar-benar mempersiapakan pesta ulang tahun khasnya besok. Sudah setahun lebih dia menahan diri untuk tidak membuat onar lagi, habis sudah kesabarannya sekarang. Layar komputer yang sebelumnya hanya menampilkan windows berubah menjadi rekaman CCTV langsung dari rumah seseorang.
Yudha, anak itu sedang duduk kaku di kursi belajarnya, dia termenung, buku di tangannya bahkan belum dibuka. Alexi menghisap lagi puntung rokoknya. Seseorang masuk ke kamar Yudha, wanita itu membawa segelas air, dia mengelus belakang kepala anaknya.
“Ini dia wanita pemarah!” Alexi tahu, sejam yang lalu, wanita itu bahkan mengamuk di dapur dan menyuruh semua pembantu di rumahnya pergi.
Tak lama berselang setelah wanita keluar lagi dari kamarnya. Yudha kembali kehilangan akal, anak itu mengeluarkan sebuah pistol dari laci mejanya.