Fajar, lima belas jam sebelumnya. 05:18 pagi.
Seorang pria bernama Rakhi Usagi diringkus polisi setelah melaporkan diri bahwa ia telah membunuh adiknya yang telah menghabisi orang tua mereka. Tino datang memeriksa TKP, ia bergidik ngeri bukan karena kondisi TKP dan korban yang begitu menyayat hati, namun karena kasus seperti ini terjadi lagi di daerahnya, setelah setahun sebelumnya damai saja.
Dua korban mati akibat tembakan di lehernya, sedangkan yang satunya mati babak belur setelah dihajar habis-habisan. TKP benar-benar kacau, seperti memang pernah terjadi perkelahian gila di sini. Namun anehnya tidak ditemukan pistol yang diduga sebagai senjata pembunuhan di TKP, ia berusaha menggeledah mencari senjata pembunuhan selama satu jam namun belum juga di temukan.
Alexi melepaskan pelukan Ratu, menatap sebentar mata wanita itu. Entah mengapa tiba-tiba terbesit kebencian saat melihat mata sendu itu. Alexi tak lagi tersenyum di bayang siluet mentari pagi, wajahnya datar.
“Aku mau mandi.” Lirihnya pelan.
Ratu hanya membalas mengengguk sekali, membiarkan punggung lelaki itu menjauh darinya. Ia tak bisa menahannya, ia hanya bisa menanti.
“Hari ini peringatan kematian Ayahmu!” Alexi terhenti di ambang pintu, ia tersenyum simpul, “aku sedang mempertimbangkan untuk membuatmu menemuinya hari ini atau menahan mu lebih lama lagi.”
‘Aku akan menunggu...’ balas Ratu dengan raut wajah tanpa daya.
“Berdoa lah tulang lenganku patah hingga ia tak bisa menyakitimu untuk sementara waktu.” Alexi tak berkata lebih banyak lagi, ia segera keluar dan bersiap mandi.
Ia mengambil handuk, kembali turun ke bawah hendak ke kolam renang. Ia melewati ruang dapur berhenti sejenak saat menyadari Indah ada di sana sudah rapi dengan setelannya. Gadis itu berbincang ria dengan seseorang di handphone.
Dia hampir melupakan gadis itu, salah satu orang yang juga harus segera ia habisi. Peliharaan itu sudah tumbuh dewasa, tunggu sampai ia memberontak dan mengigit pemiliknya sendiri. Itu tak membuat Alexi takut sebenarnya, dua wanita itu senjata terbaik yang ia miliki namun juga yang paling berbahaya. Alexi masih tetap pada logika nya yang tidak ada rasa, karena tanpa hati logika hanya segi tiga kosong, rumus tanpa kamus, emas tanpa kilas, tinta tanpa warna. Hampa, hanya hampa.
Ia menjatuhkan diri ke dalam air, membiarkan tubuhnya tenggelam hingga ke dasar kolam sedalam tiga meter. Ia rasakan dingin air yang menyentuh kulitnya, nafas yang tertahan, mata yang terpejam, tubuh yang mengambang. Ia ingat lagi kejadian malam tadi. Perasaan yang sudah lama di tahan, candu yang menghantui, kini sudah terpenuhi kembali. Alexi membuka matanya, ia tertawa keras di dalam air, menyeruakkan gelembung-gelembung kecil muncul ke permukaan.
Ia keluar dari air, berjalan dengan air yang masih menetes pada tubuh, ia mengambil pisau dapur, ia sudah memutuskan untuk menghabisi wanita itu. Ratu tak bergeming dia termenung dalam sepi. Alexi mendekat dan menarik rambutnya kasar, Ratu memekik dalam bisu, tak ada suara hanya bunyi sayatan demi sayatan meloloskan darah dari kulit putihnya. Kulit putih sama seperti kulit Ayahnya, kulit orang keturunan Eropa itu. Alexi jijik, itu lah yang ia benci dari wanita ini.
Ayahnya itu, pria berwajah ramah itu. Pertama di ketahui keberadaannya setelah hampir tiga tahun ia mengenal dan dekat dengan anaknya. Alexi yang hidupnya sempat bahagia, kembali dihantui oleh trauma yang sangat menakutkan. Ia mengingat dengan jelas wajah pria yang dia lihat saat usainya masih tujuh tahun. Sepuluh tahun yang lalu pria berwajah ramah itu melecehkannya untuk pertama kalinya. Ia kembali, tak mau disentuh siapa pun–menyadari orang jahat ternyata berkeliaran di dekatnya selama ini.
Ratu mencari-carinya di yayasan saat Alexi tak kunjung terlihat lagi. Ia masuk ke kamarnya dan mendapati pria itu duduk termenung di ujung kasurnya. Ratu mengetok pintu kamar, Alexi dengan mata merah menoleh padanya.
‘Kamu gak apa-apa?’ Ratu bertanya karena tahu Alexi sedang ada apa-apa.
Alexi menatapnya dengan tatapan kebencian, sebulan lalu untuk pertama kalinya gadis itu mengajaknya bermain di rumahnya. Selama hampir tiga tahun mereka menjadi sangat dekat, sampai semua orang di sekolah pun tahu dimana ada Alexi pasti ada Ratu. Meski itu tak menyurutkan semangat para gadis untuk dapat berpacaran dengan pria rupawan bernama Alexi itu. Alexi bukan pria lugu, di depan para gadis ia bagai merak yang memamerkan bulu indahnya. Ia sering gonta-ganti pacar. Namun setelah gagap menyaksikan pria tua itu adalah orang tua temannya, ia kembali paranoid, takut bila disentuh oleh orang lain. Sebab itu ia mengasingkan diri dari dunia luar, dia bolos dan hanya mengurung diri di kamar. Tak ada yang mengerti, karena ia pun tak mau bicara.
Tapi tak lagi, Alexi kini tersenyum pada Ratu. Ratu masih dengan wajah cemasnya.
‘Main yuk!’ ajak Alexi.