Bocah dari Lembah Pesakitan

Auli Inara
Chapter #7

Lepas

Alexi pulang dan mendapati rumahnya dalam kondisi biasa, hanya dua ruang di lantai dua yang menyala lampunya. Tidak muncul bahkan sedikitpun kecurigaan dari benaknya. Ia membuka pintu dan masuk tanpa beban.

Di lain tempat, Ratu seperti baru masuk ke dalam dunia fantasi. Lampu-lampu mobil yang berlalu lalang menyilaukan matanya. Mereka berjalan di trotoar, hanya ditemari temaran lampu jalanan juga ramainya orang-orang yang menjejali kawasan kuliner malam. Ratu seperti anak kecil yang digandeng erat oleh Indah, gadis itu bagai Ibu posesif yang takut kehilangan anaknya.

Ratu masih belum terbiasa, meski sudah berjam-jam mereka berada di luar rumah. Matanya liar memandang sekitar, ia berusaha menutup telingannya. Kebisingan ini sangat mengganggunya, mungkin ia sedikit syok dengan dunia luar setelah sekian lama terisolasi di rumah itu. Ia berjalan tak teratur, menghindari orang lewat yang hampir menabraknya. Ia sedikit takut hanya tak dapat mengatakannya.

Indah terus berjalan tergesa-gesah, nafasnya masih tidak teratur sejak keluar pintu rumah membawa Ratu. Perasaan was-was menghantuinya, sesekali ia menoleh ke kiri dan kanan juga belakang, mamastikan Alexi tidak tiba-tiba muncul di sekitar mereka. Ia juga sengaja membawa Ratu ke tempat ramai, tidak peduli jika wanita itu tampak gugup, setidaknya di tengah keramaian mereka akan lebih sulit ditemukan. Sesekali ia menatap seseorang yang ia kira Alexi, namun ternyata bukan. Nyatanya ia benar-benar ketakutan sekarang.

Namun ketakutan mereka tak terbukti, karena Alexi sendiri sedang santai di sofa. Remot yang di jatuhkan Ratu di lantai ia ambil. Ia nyalakan TV, berita tentang pembunuhan kemarin malam kembali ditanyangkan. Alexi tersenyum sinis, menyaksikan berita itu.

Tidak ada perkembangan siknifikan dari penyelidikan, senjata pembunuhan belum ditemukan. Tentu saja, karena pistol itu justru ada di tangan Alexi sekarang. Masih tersisa satu peluru dari kejadian kemarin malam.

Lilin sudah mencapai batas terakhirnya, satu-satunya penerangan di ruangan itu padam. Ia menyerang lengan Yudha, dan merebut pistol itu di kegelapan. Saat lelaki itu mengarahkan pistol ke seseorang yang datang bersama senternya. Ia jemput pistol itu dan berjalan mundur saat kejutan kedua datang.

Rakhi berteriak kesetanan, mendapati orang tuanya sudah rabah berlumuran darah. Ia mendekat pada Yudha sambil terus menyenteri wajah adik bungsu nya itu. Yudha hanya memejam menghalangi cahaya itu dengan telapak tangan dari matanya. Rakhi mengumpat, lalu menyerang adiknya, di kegelapan.

Itu yang Rakhi ceritakan pada polisi, namun kesaksiannya diragukan, namun alibinya juga kuat. Seperti biasa ia berkumpul bersama teman-temannya di café, sambil bernyanyi ria. Yang bisa dilakukan Rakhi hanya bernyanyi, ia bodoh di sekolah, kuliah pun tidak ia lanjutkan, Rakhi sudah seperti anak buangan, ia tak dianggap orang tuanya. Sepulang dari sana seperti biasa lewat tengah malam, namun naas jika dia bisa pulang lebih cepat, nyawa mungkin tak dapat ia selamatkan namun setidaknya orang tuanya tidak mati semengenaskan itu. Di tangan anak kesayangan mereka sendiri?

Rakhi menyeringai, mendapati kenyataan itu. Namun ia puas, karena anak itu habis pula di tangannya.

“Kesaksiannya benar!” Tino datang ke ruang introgasi membawa hasil otopsi.

“Korban sudah meninggal sebelum ia tiba di rumah itu!”

Rakhi menganggapi dengan wajah dingin. “Keparat itu benar-benar gila, bisa-bisanya dia...” perasaan dendam masih menyesakkannya, meski Yudha telah mati, namun rasanya itu belum cukup. Bukan karena orang tuanya yang mati mengenaskan seperti itu, namun ini tidak adil baginya. Orang tuanya tidak mengakuinya, ia tumbuh tanpa kasih sayang. baginya Yudha lah yang telah merebut semua kebahagiannya. Dan kini, saat ia mulai berdamai dan berusaha membuktikan pada orang tuanya bahwa ia berharga, bahwa ia bisa dibanggakan. Rakhi memimpikan sebuah pengakuan dari orang tuanya, tapi semua belum tercapai dan orang tuanya telah pergi? Dan berakhir di tangan si Manja?

Rakhi tiba-tiba menyerukan gelak tawa kencang dari mulutnya, begitu lucu hidupnya. Sepertinya ia akan gila.

“Hey kau tidak apa-apa?” Tino bergidik ngeri, tawa dari lelaki itu bukan tawa tanpa emosi, namun tawa pilu, sangat memilukan. Tino menoleh pada rekan di sampingnya. Mereka berusaha tetap tenang.

Lihat selengkapnya