Tino keluar dari kantor polisi dengan membawa secangkir kertas kopi, kasus baru yang ditanganinya membuatnya tidak bisa tidur selama dua hari terakhir. Ia berniat menghirup udara sejuk malam sebentar di luar kantor. Ia pandangi langit malam yang tampak lebih indah dari biasanya. Sekacau-kacaunya keadaan di bumi, langit tak mesti ikut menangis. Entah sedang mengolok, atau justru langit sedang berusaha menghibur hati-hati yang terluka di bumi. Apapun itu maha suci Tuhan yang sudah menciptakan semua ini. Tino mencoba tersenyum, terkadang hal buruk tidak buruk juga sebenarnya, pikirnya.
Tino mengesap kopi hitamnya yang masih mengepulkan asap, perhatiannya teralihkan oleh dua orang wanita yang sedari tadi tampak celingukan di luar pagar kantor. Polisi lain yang berjaga di pos tidak terlalu menghiraukan dua wanita itu. Tino berjalan mendekat pada dua wanita itu, ternyata bukan hanya berdua, ada seorang pria yang bersama mereka. Tino seperti mengenal wajah itu, tentu saja ia pria yang ia lihat menjemput Karina beberapa waktu lalu.
Entah apa gerangan yang terjadi, pria itu tampak tenang saja berbeda dengan dua wanita yang seperti habis melihat hantu. Tino merasa ada yang tidak beres, ia terus berjalan mendekat sambil celingukan melihat intraksi ketiga orang itu. Hanya tinggal lima meter saja, orang-orang itu sudah menghilang masuk ke dalam mobil yang langsung tancap gas menjauh dari tempat itu.
“Apa yang kalian pikirkan sehingga memutuskan pergi meninggalkan ku?”
Indah mengerucutkan bibirnya dengan tangan terlipat di dada, ia menahan kesal atas sikap Alexi yang tiba-tiba menjadi manis. Dan sial! Umpatnya dalam hati, Ratu termakan rayuan manusia biadap itu lagi.
“Jika kalian pergi lalu bagaimana bisa aku sendiri di rumah, kamu pasti tahu betapa tidak bisanya aku memasak, lalu siapa yang akan memasakkan ku makan malam jika kamu tidak ada?”
Entah apa jawaban Ratu dari pernyataan Alexi tadi, Indah yang duduk sendiri di bangku belakang tidak memperhatikannya.
“Hantikan rayuanmu! Jangan membuatku muak! Bagaimana bisa kau menemukan kami?” Indah menjawab sarkastik.
Dari kaca kemudi, Indah bisa melihat seringaian kecil terukir dari bibir psikopat itu. Kebenciannya serasa menguap, membuat tubuhnya panas ingin sekali mencekik leher jenjang Alexi.
“Kenapa? Kau tidak berpikir bahwa memang benar aku memasang chip di tubuh kalian? Haha... yang benar saja, kau pikir memang aku siapa? Aku hanya seorang Jaksa tidak becus yang memutuskan mengajar untuk mengurusi seorang bocah yang tidak bisa diatur. Kau tau betapa sulitnya aku membesarkanmu? Wajar saja Ayahmu frustasi...”
“Hentikan! Kau lah yang membunuh Ayah ku!” Indah memadang Alexi dengan mata sengit seolah hendak segera melahap pria itu. “Dan bukankah kau juga akan membunuhku pada akhirnya? Berhenti bermain-main dan bunuh aku sekarang!”
“Apa maksudmu? Bagaimana bisa aku membunuh anakku sendiri yang bergitu sulit ku didik dan besarkan.”
“Omong kosong! Kau tidak pernah membesarkanku! Aku tumbuh dengan sendiri, dan aku bukan anakmu!”
“Tapi kau bagian dari keluargaku, nama mu bahkan tercetak di kartu keluarga sebagai anak sejak dua tahun lalu. Lalu apa yang kau sangkal?”
“Aku tidak sudi menjadi anak mu!”