Nginggg!!!
Damar membuka matanya dan merasa kesulitan untuk melihat. Asap tebal dari ledakan bom yang baru saja terjadi dan membakar beberapa fasilitas umum seperti halte, kotak pos, tempat sampah umum dan beberapa pohon di dekatnya, mengganggu penghilatan Damar.
Itu tadi bom. Hanya dengan mengingat bagaimana suara ledakan tadi, Damar tahu bahwa ledakan tadi disebabkan oleh bom. Sial!! Bomber gila itu juga menargetkan tempat ini!
Damar berusaha bangkit dari jatuhnya karena hempasan angin kencang dari ledakan sebelum akhirnya membuat Damar terpental dan membuatnya menghantam kerasnya aspal.
Ngingg!!!
Sekali lagi … telinga Damar masih berdengung dan membuat Damar kesulitan untuk fokus melakukan apa yang ingin dilakukannya: menyelamatkan orang-orang yang terluka.
“Damar!! Damar!!”
Tidak lama setelah diam sejenak mengatur tubuhnya, pendengaran Damar akhirnya berhenti berdengung dan Damar dapat mendengar panggilan dari walkie talkie yang dibawanya.
“Damar!! Kamu bisa dengar aku??”
Pak Erdo. Damar mengenali suara atasannya dan langsung mengambil walkie talkie yang masih berada di sabuk yang terikat di pinggangnya. “Y-ya, Pak. Sa-saya dengar.”
“Ada ledakan bom di sini, bagaimana dengan tempatmu jaga?”
“Sama, Pak. Di sini juga ada ledakan bahkan posisinya cukup dekat dengan penonton.”
“Hah? Kamu gimana? Nggak papa?? Bantuan sebentar lagi datang.”
“Saya masih sanggup berjalan kok, Pak. Saya nggak papa. Bapak gimana?”
“Aku?? Aku baik-baik saja! Karena kamu baik-baik saja, segera evakuasi orang-orang di sana dulu!! Bantuan mungkin akan sedikit terlambat karena aula di mana para tamu penting berada, juga meledak.”
Di sana juga?? Dengan tenaganya yang tersisa, Damar berusaha memeriksa keadaan korban dan melakukan evakuasi bersama dengan polisi lain yang berjaga dan selamat dari ledakan. Para korban yang hanya luka ringan pun turut ikut membantu Damar melakukan evakuasi korban yang terluka parah karena berada sangat dekat dengan ledakan.
Berkat ledakan yang terjadi di lima lokasi berbeda sepanjang jalur karnaval, evakuasi korban bom berjalan cukup lambat. Butuh sekitar lima jam lamanya, untuk membawa seluruh korban ke rumah sakit-rumah sakit yang ada di Kota J.
“Pak! Kepala Bapak berdarah.” Petugas ambulans yang membawa korban terakhir melihat ke arah Damar sembari menunjuk kepala Damar yang terluka dengan darah di keningnya.
“Ah benarkah??” Damar menyentuh keningnya dan menemukan darahnya yang sudah hampir mengering. “Ah benar, ternyata aku juga terluka.”
“Bapak bisa ikut kami ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Luka Bapak mungkin tidak terlihat parah, tapi karena lukanya di kepala, mungkin Bapak harus mendapatkan beberapa perawatan sebelum terlambat.”
“Aku nggak papa! Aku tahu kondisiku sendiri! Bawa korban-korban ini dulu! Nanti setelah semuanya selesai, saya akan ke rumah sakit sendiri.”