Butuh waktu satu hari bagi Nila untuk menemukan putra dan mertuanya. Nila menghubungi rumah mertuanya tapi tidak mendapatkan jawaban. Nila kemudian menghubungi adik iparnya-Rudi, tapi panggilannya tidak mendapat jawaban juga.
Panik? Jelas.
Tanpa harus dikatakan, Nila jelas merasa sangat-sangat panik. Harapan kecil Nila bahwa kedua mertua dan anaknya sudah pulang sebelum ledakan nahas di karnaval terjadi, perlahan mulai sirna. Bahkan benak Nila sudah membayangkan kejadian terburuk yang mungkin dialami oleh kedua mertuanya dan Nanda-anaknya: kematian mereka.
Baru pada keesokan harinya, Nila menemukan Nanda-putranya dan mertuanya. Rudi-adik ipar Nila, akhirnya menjawab panggilan Nila dan langsung memberi kabar mengenai keadaan Nanda dan dua mertua Nila.
“Oh Rudi!! Syukurlah kamu mengangkat panggilanmu!! Aku berusaha menghubungi rumah tapi tidak mendapat jawaban. Apa kamu tahu di mana ayah dan ibu? Mereka sudah pulang kan ketika ledakan itu terjadi?”
“Akan lebih baik, Mbak cepet ke sini!”
Sayangnya … apa yang Nila bayangkan semalam, benaar-benar terjadi di dalam dunia nyata.
Begitu tiba di rumah sakit, Nila langsung mendapatkan tatapan tajam dari Rudi-adik iparnya. Rudi menolak untuk melihat Nila dan terus menundukkan kepalanya dengan kedua tangan yang mengepal erat. “Sejak Mbak datang ke rumah, aku sudah menduga hal ini akan terjadi!! Setahun yang lalu, aku kehilangan abangku-Laksana! Dan sekarang, aku kehilangan Ayah dan Ibu di waktu bersamaan! Semua ini karena Mbak!!”
Mendengar ucapan dingin Rudi, Nila sadar sesuatu yang buruk telah menimpa kedua mertuanya saat membawa Nanda melihat karnaval kemarin.
Keesokan harinya.
Setelah prosesi pemakaman dilangsungkan, Nila berdiri di depan makam dua mertuanya yang berada tepat di samping makan suaminya-Laksana. Nila hanya bisa menangis, merasa bersalah dan menyesal mengenai hal buruk yang menimpa mertuanya.
“Maafkan Nila, Ayah, Ibu!!” Nila terus menangis sembari mengulang kalimat itu. “Sekali lagi, maafkan Nila, Ayah, Ibu!”
“Apa gunanya Mbak minta maaf?” Rudi yang berdiri di samping Nila, bicara dengan nada dinginnya. “Abangku, Ayah dan Ibuku, semuanya pergi setelah Mbak masuk dalam keluarga kami!!”
Nila hanya diam menerima saja kemarahan Rudi padanya. Sejak setahun yang lalu, Rudi sudah menyalahkan Nila atas kematian Laksana. Dan sekarang … Rudi semakin membenci Nila karena Ayah dan Ibunya meninggal setelah mengajak Nanda pergi melihat karnaval.
“Sekali lagi … aku hanya bisa minta maaf.” Sembari menangis merasa menyesal, Nila berusaha meminta maaf pada Rudi yang kini telah jadi yatim piatu dan kehilangan semua anggota keluarganya.
“Sudah, sudah!! Ini musibah! Kamu nggak bisa nyalahin Mbak iparmu, Rudi!” Tetangga dari mertua Nila, berusaha menjadi penengah antara Nila dan Rudi.
“Cih!!”
Kesal, Rudi akhrirnya memilih untuk pergi lebih dulu dari pemakaman, meninggalan Nila dan beberapa orang yang masih tinggal untuk mengucapkan perpisahan terakhir mereka.
Puk, puk!!
Tetangga mertua Nila yang sudah seperti saudara bagi mertua Nila, menepuk pelan punggung Nila untuk menguatkan Nila yang kini telah kehilangan mertuanya setelah tahun lalu kehilangan suaminya. “Jangan diambil hati, Nak! Rudi belum lama ini kehilangan abangnya dan sekarang kehilangan kedua orang tuanya di saat yang sama. Tolong maklumi Rudi, Nak!”
“Ya, Bude. Makasih banyak.” Nila mengangguk lemah melihat ke arah perginya Rudi.
“Setelah ini cepatlah pulang, Nak!! Nanda masih di rumah sakit kan??”
“Ya, Bude.”