Keesokan harinya.
20 Agustus 2013.
Berita hari ini: teror bom kembali terjadi. Kali ini bom meledak di Rumah Sakit Husada. Bom pertama meledak di lantai lima di mana kamar VIP berada. kemudian empat bom selanjutnya meledak secara berurutan di tiap lantai. Diperkirakan ada banyak korban dalam teror bom kali ini, mengingat rumah sakit sedang penuh oleh korban dari teror bom sebelumnya.
Buk!! Erdo menepuk bahu Damar ketika tiba di lokasi ketiga teror bom: Rumah Sakit Husada yang kini terlihat cukup buruk karena ledakan kemarin.
“Kamu sepertinya sedang sial!” ujar Erdo sedikit menyidir Damar karena sudah dua kali jadi korban teror bom.
Damar tersenyum pahit membalas Erdo. “Ya, Pak. Sepertinya peruntunganku buruk bulan ini. Dari tiga teror bom, nama saya masuk jadi korbannya dalam dua terornya.”
Buk!! Erdo menepuk bahu Damar lagi. Tapi kali tepukan itu sedkit berbeda. Erdo menepuk bahu Damar dan sedikit menekannya. “Kamu mungkin memang sedang sial, Damar! Tapi kalo bukan kamu yang kemarin datang kemari dan menyalakan alarm kebakaran, mungkin korban yang selamat jauh lebih sedikit dari kemarin.”
“I-itu hanya kebetulan, Pak.” Damar menjawab merendah. Kenyataannya berkat alarm kebakaran yang Damar nyalakan beberapa detik sebelum ledakan berhasil menyelamatkan penghuni rumah sakit di lantai satu dan dua.
“Yah meski kebetulan sekalipun, itu nggak mengubah kenyataan kamu telah menyelamatkan banyak nyawa. Dan juga … “ Erdo menghentikan ucapannya sejenak dan merangkul bahu Damar untuk bicara dengan sedikit berbisik. “Berkat kamu, komisaris akhirnya percaya bahwa musik orkestra itu adalah petunjuk yang sengaja ditinggalkan pelakunya.”
Akhirnya … ada yang percaya dengan dugaanku itu. Kemarin aku sudah benar-benar memastikannya dan musik itu sekarang jadi satu-satunya petunjuk untuk menangkap bomber! Damar mengangguk lega karena berhasil menemukan petunjuk meski itu adalah petunjuk yang sangat kecil.
“Gimana hasilnya?” Erdo melepaskan rangkulan tangannya di bahu Damar dan bertanya pada Heru-dari tim forensik dan Catur-ketua tim pemadam kebakaran.
“Bomnya sama: RDX 50kg. Tapi melihat keadaan lantai lima yang lebih hancur dibandingkan dengan lantai lain, harusnya bomn di lantai lima adalah RDX 150kg,” jelas Catur.
“Eh?? Yang di lantai lima lebih besar??” Erdo kaget. “Lima bom di dua lokasi sebelumnya, selalu sama daya ledaknya. Kenapa sekarang ada yang beda? Kamu yakin nggak salah, Catur?”
“Aku yakin, bahkan yakin sekali. Lantai lima kondisinya benar-benar hancur sekali. Kalo bukan karena rangka bangunan rumah sakit yang baik dan alarm kebakaran yang dibunyikan beberapa detik sebelum ledakan, mungkin jumlah korbannya akan lebh banyak terutama di lantai empat yang berada tepat di bawah lantai lima,” tambah Heru-ketua tim pemadam kebakaran. “Kemarin … timku benar-benar kesulitan memadamkan api di lantai lima yang cukup besar.”
“Bukannya ini aneh, Damar?” Kali ini Erdo melihat ke arah Damar dan bertanya dengan kening mengerut khasnya.
“Ya, Pak. Ini aneh.” Damar mengangguk setuju sembari mengingat kejadian kemarin di mana ledakan pertama yang berasal dari lantai lima terdengar sangat kencang dan menurut berita hari ini jumlah korban tewas dalam ledakan, kebanyakan berasal dari lantai lima.
Kalo diingat-ingat, ledakan pertama memang kedengaran lebih kencang dibanding yang lain. Damar sedang berpikir dengan kedua tangannya yang berada dalam posisi bersidekap dan jari telunjuk tangan kanannya mengetuk-ngetuk di atas lengan kirinya. Kenapa sekarang ada yang berbeda? Kenapa?
Damar melihat ke arah bangunan rumah sakit yang mana lantai limanya sudah nyaris tak terlihat seperti bentuk semulanya. Sebelumnya … lima bom itu selalu memiliki daya ledak yang sama. Tapi sekarang kenapa berbeda? Apa karena di sini adalah rumah sakit?