Setelah memeriksa ke perpustakaan umum dan mengopi berita mengenai kematian tragis Diva-bintang dari Teater Raya, Damar datang mengunjungi Nila sesuai dengan janjinya.
“Maaf saya baru datang, Bu.” Damar yang dipersilakan duduk, langsung meminta maaf karena baru sempat datang mengunjungi Nila untuk mencatat kesaksiannya.
“Nggak papa, Pak. Saya yakin kasus kemarin pasti membuat kehebohan besar pada semua polisi yang ada.”
Damar terkekeh karena apa yang Nila katakan memang benar adanya. “Kejadian kemarin memang cukup menggemparkan. Tapi kami beruntung karena tidak ada korban tewas kemarin. Hanya ada korban luka dan kerugian yang cukup fatal mengingat ada banyak berkas yang hangus terbakar.”
“Mereka selamat karena Bapak berhasil membunyikan alarm kebakaran tepat waktu.”
Setelah cukup basa basi mengenai teror bom kemarin di kantor kepolisian, Damar langsung menanyakan perihal kesaksian Nila. Awalnya Damar memastikan jika musik orkestra yang selalu jadi pertanda sebelum bom meledak adalah memang berasal dari teater di mana Diva berperan.
“Ya, saya hanya pernah mendengar musik itu dari Teater Raya saja. Itu pun saya hanya dengar sekali saja di pertunjukan terakhir yang saya datangi bersama dengan suami saya sebelum meninggal.”
“Selain masalah mengenai musik orkestra itu, ada yang ingin saya tanyakan pada Ibu. Apa Ibu secara pribadi mengenal Diva-bintang dari Teater Raya yang meninggal setahun lalu?”
“Dibilang kenal sih nggak, Pak. Hanya saja … kami pernah bertegur sapa beberapa kali berkat suami saya-Laksana.”
“Suami Ibu?” Damar mengerutkan alisnya merasa heran. “Apa Suami Ibu mengenal Diva secara pribadi?”
“Saya kurang tahu soal itu. Tapi mungkin iya. Suami saya melamar saya di gedung itu tepat setelah pertunjukan di teater itu. Mungkin saat itu … suami saya sudah mengenal Diva karena pernah meminta bantuannya.”
“Kapan itu tepatnya?”
“Lima tahun yang lalu.”
Damar yang telah memasang alat perekamnya, mencatat hal penting yang mungkin bisa jadi petunjuk baginya dalam catatan kecil miliknya. Mungkin ini adalah petunjuk penting. “Kalo saya tidak salah ingat, suami Ibu adalah polisi kan?”
“Ya, Pak. Namanya Laksana. Tiga bulan sebelum kematiannya, suami saya sempat bekerja di kantor yang sama dengan Bapak.”
Kenapa aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya? Kira-kira Laksana, dari divisi mana? Damar mengerutkan keningnya karena tidak pernah mendengar nama itu selama hampir setahun bekerja di kantor kepolisian Kota J. “Kalo boleh tahu, suami Ibu meninggal kenapa?”