“Pa-“ Damar menghentikan ucapannya yang belum selesai dan memasang wajah terkejut yang membuat Nila sadar jika dirinya baru saja mengagetkan Damar.
“Maaf, Pak. Sepertinya saya sudah mengagetkan Bapak,” ucap Nila lagi.
“Nggak papa, Bu.” Damar buru-buru menutupi semua koran dan catatan miliknya yang sedang digunakannya untuk mencatat hal penting.
Apa aku mengganggu?, batin Nila merasa bersalah.
“Nggak, Bu. Nggak. Hanya saja … kemarin saya mengingatkan pada Ibu untuk bersikap tidak kenal baik dengan saya. Tapi Ibu justru kemari menyapa saya lebih dulu.”
Mendengar ucapan dari Damar, Nila spontan mengingat pesan Damar sebelum pergi dari rumahnya kemarin. Karena semalam aku terlalu sibuk memikirkan banyak hal, aku sampai lupa dengan peringatan itu. Bodohnya, aku!! Nila langsung memasang wajah menyesalnya dan meminta maaf pada Damar. “Saya mohon maaf, Pak. Saya lupa, Pak.”
“Sudahlah!! Ini hanya kebetulan saja, Bu. Orang lain yang tidak sengaja melihat mungkin akan berpikir begitu.” Damar tersenyum ramah pada Nila sembari melihat ke arah tangan Nila yang sedang membawa tas jinjing yang kelihatan cukup berat. “Apa yang membawa Ibu kemari? Ke perpustakaan umum ini.”
Nila mengangkat tas jinjingnya. “Saya terkadang kemari untuk bekerja. Karena teror bom belakangan ini, banyak orang takut untuk bekerja di kantor, Pak. Dan kantor saya sangat sepi, jadi saya ke sini.”
Damar menganggukkan kepalanya mengingat berita beberapa hari lalu tentang himbauan Bupati Kota J yang meminta perusahaan maupun kantor untuk membuat separuh pekerjanya untuk bekerja dari rumah. Bupati dan pemerintah Kota J yakin dengan tidak banyak orang berkumpul pada satu tempat, akan mengurangi jumlah korban yang mungkin jadi sasaran dari teror bomber. “Saya sudah dengar berita itu. Jadi Ibu datang ke sini untuk bekerja?”
“Ya, Pak.” Nila mengangguk.
“Dengan mata seperti itu?” Damar menunjuk bawah mata miliknya sendiri sebagai isyarat untuk Nila.
“Ah … ini.” Nila merasa malu dengan bagian bawah matanya yang menghitam karena kurang tidur. “Semalam saya memang kurang tidur. Sebenarnya … ada yang ingin saya tanyakan pada Bapak.”
Damar menyipitkan kedua matanya seolah sedang menebak apa yang ingin ditanyakan Nila padanya. “Jika ini ada hubungannya dengan kasus bomber, saya tidak bisa mengatakan apapun pada Ibu. Penyelidikan bersifat rahasia karena banyak alasan. Tapi alasan utamanya adalah dugaan kami masih belum memiliki bukti.”
“Bukan soal itu, Pak.”
“Kalo bukan soal itu, lalu soal apa?” Damar mengerutkan keningnya merasa heran.
“Apa kematian suami saya mungkin bukan murni kecelakaan?”
Kerutan kening Damar semakin dalam. “Kenapa Ibu berpikir begitu?”
“Sebelum saya memberikan buku catatan milik suami saya pada Bapak, saya pernah membacanya terutama bagian penyelidikan terakhir sebelum kematiannya. Karena muncul nama Danis di sana, saya sempat mengira, suami saya mungkin tidak murni meninggal karena kecelakaan. Tapi pada akhirnya saya menerima kenyataan itu, Pak. Saya merasa suami saya hanya curiga dan berakhir tidak menemukan apapun karena tidak ada kasus mengenai Danis setelah kematian suami saya.”
“Masalah itu … saya tidak bisa memberikan penjelasan karena saya masih tidak punya bukti apapun. Tapi … soal Danis, sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan. Apa Danis dan Diva saling mengenal satu sama lain?”
Nila menggelengkan kepalanya tidak yakin. “Kalo dibilang kenal, saya kurang tahu. Tapi seingat saya … Danis-pencetus karnaval itu sering sekali datang ke pertunjukan Diva dulunya. Sebelum Danis menerima penghargaan tahun lalu, hampir setiap kali saya ke sana dengan suami saya, Danis juga ada di sana. Bisa dibilang kalo Danis adalah penggemar pertunjukan Diva.”