Bagi kebanyakan orang, empat puluh detik adalah waktu yang sangat singkat. Tapi bagi Damar sekarang, empat puluh detik itu adalah waktu yang terasa panjang karena setiap detiknya adalah sesuatu yang penting karena menyangkut nyawa orang lain.
39 … 38 …
A-apa yang harus aku lakukan? Damar melirik ke arah belakangnya di mana Nila berdiri dengan tangan gemetar ketakutan. Apa aku harus lari sekarang dan menyelamatkan Nila? Atau … Damar mengalihkan pandangannya pada Erdo dan komisaris yang kedua tangannya diborgol pada tiang penyangga panggung.
Atau aku harus menyelamatkan mereka dan mungkin membahayakan nyawa Nila??
“Aku nggak mau mati! Aku masih punya istri dan anak yang harus aku urus!! Damar, selamatkan aku!!” Komisaris berteriak meminta pada Damar dengan wajahnya yang ketakutan.
Damar memikirkan sebuah rencana dalam benaknya, tapi Damar lupa jika tadi dirinya meninggalkan senjata api miliknya. Kalau saja aku tadi membawa senjataku, aku mungkin bisa menembak borgol itu dan menyelamatkan semua orang. Tapi …
“Sial!! Apa yang harus aku lakukan?” Damar mengumpat kesal pada dirinya sendiri.
“Dua puluh delapan detik lagi! Waktumu tidak banyak, Pak polisi!” ujar Rangga yang masih berdiri di panggungnya dan dengan tenang memainkan kedua tangannya seolah musik orkestra yang sedang berputar sekarang ada dalam kepemimpinannya. “Cepat tentukan pilihanmu, Pak!! Haruskah Nila jadi korban dan membuat anak Laksana jadi yatim piatu atau Pak Polisi akan menyelamatkan Nila dengan mengorbankan dua rekan Bapak? Cepat tentukan pilihanmu, Pak! Waktumu tidak banyak! Dua puluh dua detik lagi!”
Sial!! Apa yang harus aku lakukan?? Pilihan Damar sekarang adalah pilihan yang sangat sulit. Baik komisaris, Erdo dan Nila, ketiganya sama-sama memiliki nyawa yang berharga. Meski komisaris dan Erdo bersalah, tapi keduanya tidak harus mati dengan cara seperti ini. Di mata Damar, keduanya harus dihukum sesuai dengan aturan negara untuk menebus segalanya. Tapi sekarang … keadaannya berbeda. Rangga tidak memberikannya pilihan untuk melakukan hal itu.
“Damar!” Erdo berteriak memanggil nama Damar.
“Y-ya, Pak.” Damar tersentak di tengah pikirannya yang sibuk memikirkan cara untuk menyelamatkan semua orang.
“Tinggalkan aku! Selamatkan wanita itu dan dirimu, Damar!” teriak Erdo lagi.
“Apa yang kamu katakan, Erdo?? Kamu ingin mati, mati saja sendiri! Aku belum siap mati!” Komisaris menyela dengan nada penuh amarahnya pada Erdo sebelum akhirnya melihat lagi ke arah Damar. “Jangan dengarkan Erdo, Damar! Selamatkan aku, Damar!!”
“Dengar, Damar! Tinggalkan aku, selamatkan wanita dan dirimu, Damar!!” Erdo bicara lagi, kali ini dengan wajah pasrah, tak lagi ada penyesalan seperti sebelumnya.
“Apa yang Bapak katakan?” Damar tidak percaya mendengar ucapan Erdo baru saja. “Bapak tidak bisa mati di sini! Bapak harus membayar semua perbuatan Bapak pada Laksana, pada Diva, pada Nila dan pada semua orang di kota ini!”
Erdo mengabaikan ucapan Damar yang berusaha membujuknya. “Kamu bawa alat perekammu kan?”