1. Bayi
Tante Dinah meneleponku pada suatu sore yang berhujan. Aku sedang berada di ruang makan rumah kos bersama segelas teh panas. Rumah sepi sebab para penghuni lain belum pulang kerja. Hujan tumpah ruah dari langit Jakarta yang hitam, dan bunyi guyuran air diselingi gelegar guntur.
Aku sedang mengecek suhu teh saat ponsel bergetar. Di layar tampil foto wanita berkulit bersih dan berambut abu-abu. Aku mengernyit tanpa langsung menyentuh ponsel.
Kali terakhir aku bertemu Tante Dinah adalah pada pemakaman Mama setahun silam. Setelah itu, kami melanjutkan hidup masing-masing di jalan terpisah. Telepon dari Tante yang tiba-tiba ini membuatku waswas.
Yah, terima aja, sih. Mau gimana lagi? Nggak ada alasan juga gue menghindar. Aku menggeser tombol virtual dan berkata, "Halo, Tante."
"Halo, Mai," sahut Tante Dinah. Suaranya berat, setipe dengan suara adiknya: ayah tiriku. "Apa kabar?"
"Baik. Tante sehat?"
"Ya, sehat. Mai, Tante telepon kamu untuk beri tahu, ayahmu sudah keluar dari penjara."
Beberapa saat aku tak mampu berkata-kata. Kabar ini, kendati sudah kuduga, tetap sama mengejutkan dengan nyaringnya guntur di angkasa. Dua kata itu—Ayah, penjara—pernah memorakporandakan hidupku, dan mungkin akan selalu menghantuiku.
Kayak hidup gue belum cukup berantakan aja. Tante Dinah telepon pasti bukan cuma kasih kabar. "Kapan keluarnya, Tante?" tanyaku.
"Sudah hampir tiga pekan. Sekarang ayahmu tinggal di rumah Tante."
Tante Dinah bekerja di sebuah kantor konsultan pajak. Beliau hidup melajang hingga usianya kini yang kepala lima. Kata Mama, Tante pernah bertunangan, tapi batal menikah sebab laki-laki itu terpikat gadis lain.
Aku tidak bertanya mengapa Tante baru menghubungi aku sekarang, alih-alih begitu Ayah keluar penjara. Mereka berdua pasti punya alasan tersendiri—alasan yang mendorong Tante untuk meneleponku.
"Kondisi Ayah gimana?" tanyaku.
"Kurang sehat," jawab Tante Dinah datar. "Di penjara sempat kena radang paru-paru. Sampai sekarang gampang batuk dan lelah. Kakinya juga pernah patah, gara-gara berkelahi dengan sesama napi."
"Astaga," gumamku. "Kok, bisa?"
"Napi itu mengatai ayahmu setan yang menyamar jadi orang tua. Ayahmu tidak terima, mereka berkelahi, dan dia dikeroyok teman-teman si napi. Kaki ayahmu tidak sembuh total karena pengobatannya tidak maksimal."
Sulit bagiku membayangkan Ayah berbaku hantam sampai cedera parah. Beliau yang kukenal bukan jenis orang yang mudah terpancing keributan. Namun, menilik kasus yang mengunci Ayah di sel penjara, lumrah bahwa ejekan setan jadi orang tua membakar emosinya.
"Omong-omong, kamu sudah dapat kerja?"
Aku terperangah. Tahu dari mana Tante Dinah bahwa aku terkena PHK? Sebelum beliau menelepon, aku sedang mencatat sejumlah lowongan kerja yang sesuai bagiku.
"Tempo hari Tante cek profilmu di Facebook," lanjut Tante. "Kamu bilang sudah keluar dari perusahaan. Belum ada update lagi sejak itu."
Aku memejamkan mata, mengurut-urut pelipis dengan tangan yang tidak memegang ponsel. Mestinya akun gue disetel private, biar nggak sembarang orang bisa lihat. Lalu aku ingat bahwa itu percuma, sebab aku dan Tante Dinah saling follow di Facebook.
Kantor lamaku, sebuah toko daring, mengalami kerugian besar pada tahun finansial lalu. Akibatnya, mereka melakukan restrukturisasi. Aku satu dari sekian pegawai yang terkena imbasnya.
Sudah enam bulan aku berburu kerja. Uang tabungan dan pesangonku sedikit demi sedikit terkikis. Karena itu, statusku yang menganggur adalah topik sensitif. Kecuali, tentu saja, jika Tante Dinah punya info pekerjaan.