Boneka Petaka

Eve Shi
Chapter #3

Bab 2: Merampas Rumah

2. Merampas Rumah

"Permisi," sapaku. "Ayah? Ini Mai."

Ruang tamu rumah Tante Dinah luas dan terkesan sejuk, nyaris dingin. Seperangkat sofa serta dinding yang putih mengingatkan aku pada lobi rumah sakit. Di samping sofa terletak meja kecil, dihiasi vas ramping berisi setangkai mawar dari kain felt.

Ayah duduk di sofa dengan sebatang tongkat kayu tersandar di kakinya. Rambut beliau yang ikal mulai beruban. Banyaknya kerut di sekitar mata dan mulut Ayah membuatnya tampak lebih tua dari Tante Dinah, kakaknya.

Tiba-tiba aku gugup. Telapak kakiku bagai menempel pada ubin lantai. Kali terakhir aku dan Mama membesuk Ayah adalah sebelum Mama sakit. Ketika itu Ayah murung dan irit kata-kata.

Setelah Mama tiada, aku tak berani pergi sendirian ke penjara. Apalagi Om Reno melarangku. Laki-laki itu aib, tukas Om Reno. Jauh-jauh dari dia. Kamu bisa kecipratan sial, hanya karena kamu anak tirinya!

Kemarin Tante Dinah bertanya: Kamu takut sama ayahmu? Dan aku memang takut—pada kenyataan.

Bagaimana jika Ayah marah padaku yang tak pernah lagi membesuknya? Atau Ayah telah sama sekali berubah, dan beliau yang kukenal hanya ada di masa lampau?

Ketika aku menyapanya, Ayah berdiri sambil bertumpu pada tongkat. Walau gerakannya lamban, sinar mata Ayah awas. Di balik kaus dan celana pendek, badannya sekadar tampak kurus tanpa kesan ringkih.

"Mai," kata Ayah. Suara baritonnya yang lembut tak berubah, begitu pula senyum kecil yang kerap menguntai bila beliau bicara denganku. Senyum itu kini diwarnai sendu. "Maaf, Ayah tidak datang ke pemakaman mamamu."

Kontan mataku panas oleh air mata. Dari sekian hal yang dapat diucapkan Ayah, yang satu ini paling menohok. Sebelum Mama hilang kesadaran dan meninggal, beliau mengeluh kangen Ayah, dan rupanya perasaan Ayah sama.

"Ayah tidak diberi izin keluar." Kerut-kerut di wajah Ayah makin tebal oleh rasa duka. "Sekali lagi maaf."

"Nggak apa-apa, Yah," jawabku sambil membendung air mata. "Mai maklum."

Ayah kembali duduk di sofa. "Sini, sama Ayah."

Dengan canggung, aku beringsut maju dan duduk di samping beliau. Dulu Ayah kerap menguarkan aroma parfum vanila favoritnya. Karena baru keluar dari penjara, Ayah tentu belum sempat membeli benda selain kebutuhan pokok.

"Sehat?" tanya Ayah.

"Ya," jawabku, lalu menyengap. Konyol rasanya balas bertanya tentang kesehatan Ayah, sebab jelas bahwa hukuman penjara telah menggerogoti kondisi beliau.

"Kata Tante Dinah, kemarin kamu wawancara kerja?"

Aku meringis. "Iya. Banyak fresh grads yang wawancara bareng—aku berasa veteran. Yang lolos ke tahap berikutnya dikabari lusa."

Lihat selengkapnya