3. Gudang
"Nggak apa-apa lo tinggal di sana?" tanya Risha, sahabatku sejak kuliah. Dia sudah pulang kantor, dan menelepon selagi aku mengemasi barang-barang di kamar kos. "Perlu gue tengok sekali-sekali?"
"Maksudnya nggak apa-apa itu gimana?" balasku sambil melesakkan celana panjang yang telah kulipat ke dalam tas. Aku memakai earphones agar kedua tanganku leluasa bekerja. Sebelum dipecat, aku sempat berencana menabung untuk membeli AirPods.
"Itu, kan, maaf, ayah dan tante tiri lo. Kali aja lo sungkan dan perlu moral support."
Walau Risha tidak bisa melihatku, aku tersenyum. "Thanks, Sha. I'll let you know. Gue oke aja tinggal sama Ayah dan Tante Dinah. Mendingan mereka daripada keluarga kandung gue."
"Heh. Betul. Di keluarga gue juga ada, orang yang beratnya ke cuan daripada hubungan darah."
Risha tahu tentang rumah Mama yang dijual oleh Om Reno. Sama denganku, dia gusar tapi tak berdaya. Ngerampok anak yatim piatu, nggak berkah, tuh, duitnya! gerutu Risha.
"Lagian, kasihan Ayah." Aku menarik ritsleting tas. "Udahlah nggak bisa lamar kerja, kesehatannya juga menurun. Kalaupun nanti gue dapat kerja dan pindah ke rumah kos lain, bisalah sekarang temani Ayah dulu."
Hingga akhir hayatnya, Mama berkeras bahwa vonis pengadilan terlalu kejam. Orang yang tidak sengaja membunuh anak sendiri pastilah luar biasa terguncang. Seharusnya kondisi itu membebaskan Ayah dari hukum pidana.
Pada Risha, aku mengatakan hal yang sama. Ke gue yang anak tiri aja, Ayah sayang banget. Mama sampai bilang, beliau kayak pengganti Papa. Nggak sengaja bikin anak kandung sendiri meninggal itu udah berat banget buat Ayah, nggak usah ditambah penjara.
Risha sependapat denganku. Apalagi dia pernah beberapa kali bertemu Ayah dan bisa menilai beliau secara langsung. Apa pun penyebab Ayah dan Arel bertengkar, tewasnya Arel murni kecelakaan.
"Sama mendiang anaknya itu, ayah lo memang akur-akur aja?" tanya Risha. "Di luar perceraian dengan ibunya?"
Tanganku berhenti menggulung kabel laptop. "Um...."
"Ah, sori, gue cuma kepo. Lo nggak usah jawab."
Yang kutahu, pernikahan Ayah dan Bu Yusi tidak berakhir baik-baik. Aku sendiri tidak berani mengorek lebih jauh. Karenanya, aku pun tak boleh seenaknya menebak-nebak tentang Bu Yusi dan Arel.
"Ayah dan istri pertamanya yang lebih tahu," sahutku, dan Risha tidak bertanya lagi.
***
Ayah dan Bu Yusi menikah begitu lulus kuliah. Mereka sama-sama bekerja dan menabung demi masa depan. Kehadiran Arel, yang ulang tahunnya hanya berselang sehari dari Ayah, melengkapi keluarga kecil mereka.
Menurut Ayah, sifat Arel teguh dan telaten. Misalnya, saat dia mengincar posisi anggota di tim basket SMA-nya. Arel berlatih setiap hari, menampik ajakan nongkrong bareng dari teman-teman. Hasilnya, dia sukses terpilih jadi anggota tim.
Kemudian Arel dan Ayah mulai kerap bertengkar. Pemicunya macam-macam: Arel pergi dengan pacarnya hingga larut malam, membawa sepeda motor Ayah tanpa izin, merokok sembarangan sampai apinya melubangi baju. Hal-hal sepele ini bertimbun dan menyulut konflik yang lantas membesar.
Bu Yusi selalu coba menengahi Ayah dan Arel. Namun, pertengkaran mereka justru kian sering dan sengit. Suatu hari, pertengkaran mereka memuncak dan Arel pergi dari rumah.
Dia mematikan ponsel hingga tidak dapat dihubungi. Ketika dia akhirnya pulang, Ayah menegurnya. Arel menepis kata-kata Ayah hingga konflik tak terelakkan.
Kali ini Ayah terbawa emosi sampai memukul Arel. Bu Yusi tidak terima anaknya disakiti, sekalipun oleh ayah sendiri. Beliau melayangkan gugatan cerai, dan orang tua Arel resmi berpisah.
Hingga kini, penyebab perceraian Ayah janggal bagiku. Anak dipukul satu kali, Bu Yusi langsung minta cerai? Barangkali Arel sering dipukul sampai Bu Yusi tak tahan lagi.
Namun, sikap Ayah pada aku dan Mama penuh kasih sayang. Beliau tak pernah meninggikan suara, apalagi ringan tangan. Begitu besar cinta Ayah pada Mama sampai beliau tak menggubris sikap sinis Om Reno.