4. Seringai
"Di gudang ada apa, Tante?"
Aku melontarkan kalimat itu sambil menyabuni piring dan sendok di wastafel. Tante Dinah duduk di meja makan bersama secangkir kopi. Ayah sudah selesai menyarap dan kembali ke kamarnya.
Tadi malam, Tante Dinah memesan nasi tim ayam untuk makan malam sekaligus sarapan. Mulai siang ini, aku bertanggung jawab atas menu sehari-hari. Tante sendiri terus mencari ART lewat teman dan kenalan.
Tante meletakkan cangkirnya di pisin. Meski masih mengenakan daster, rambut beliau tersisir rapi. Kebiasaan kecil ini—bersiap ke kantor sedini mungkin—mirip kebiasaan Mama, dan menorehkan kangen di hatiku.
"Kenapa kamu tertarik pada gudang?" balas Tante.
Ada yang ketuk-ketuk pintu dari dalam. Mungkin dia makhluk yang sama dengan yang menarikku sampai jatuh: penghuni halus rumah ini. Disadari atau tidak, manusia selalu tinggal berdampingan dengan makhluk tak kasatmata.
Pagi ini aku terbangun dengan paha memar, bukti bahwa insiden di ruang tamu bukan mimpi. Jika penghuni halus rumah ini tidak berkenan atas kehadiranku, aku harus tahu makhluk macam apa dia. Dan aku dapat mulai mengusutnya dari gudang.
"Iseng aja, kali-kali ada barang yang masih bisa kepakai," jawabku mengelak.
Tante menggeleng. "Semua barang di sana rusak. Tante belum sempat jual ke tukang loak."
Jadi aku nggak boleh ke gudang? Namun, aku diam saja, agar Tante tidak dengan tegas melarangku ke sana. Aku lanjut mencuci piring dan Tante meninggalkan dapur.
Di jalan masuk garasi, sopir Tante sedang memanaskan mesin mobil. Bunyi derumnya sayup-sayup sampai ke dalam rumah. Tak lama berselang, Tante Dinah keluar ke ruang tamu. Wajahnya dipoles bedak serta lipstik tipis, dan beliau mengenakan blus berkerah lebar serta celana berwarna beige. Beda dari Mama, batinku, mengenang baju-baju kerja Mama yang umumnya berwarna gelap.
Dari dompetnya, Tante mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu. "Pegang ini dulu," ujarnya sambil menyerahkan uang itu padaku. "Uang belanja mingguan Tante berikan nanti malam. Pagi ini kamu tunggu tukang sayur atau ke pasar?"
"Pasar," sahutku mantap. Selain pilihan di sana lebih banyak, aku ingin hariku diawali udara segar dan pemandangan selain rumah ini. Sinar matahari pun dapat melesapkan ingatan akan insiden tadi malam.
"Perginya bareng Tante?" Beliau menuding ke arah luar rumah.
"Sendiri aja, Tante, sambil aku ngehafal rute angkot."
Aku mengiringi Tante ke teras rumah. Beliau naik ke mobilnya yang langsung mundur ke jalanan kompleks. Beres menutup pagar, aku masuk ke rumah dan naik ke lantai atas.
Tak ada pesan baru di ponselku. Semua group chat pun sepi. Hari kerja, sih, ya. Pada lagi on the way ke kantor. Ugh, moga-moga gue lolos seleksi wawancara kemarin.
Seraya mendesah, aku menyimpan ponsel di laci nakas. Seisi rumah lengang; sepertinya Ayah masih berada di kamarnya. Tanpa menunda, aku berjalan ke gudang.
Pintu langsung terbuka begitu handelnya kutarik. Huh, ternyata nggak dikunci? Aku mendorong pintu dan menginjakkan kaki di lantai gudang.
Hidungku disergap bau pengap khas ruangan yang jarang dibuka. Gudang ini sama luas dengan kamarku. Bedanya, tak ada jendela maupun lubang ventilasi untuk pertukaran udara.
Kotak-kotak kardus besar berjejer di sebelah kiri ruangan. Meja kayu persegi yang sisinya geripis melintang di sisi kanan. Namun, yang mendominasi isi ruangan adalah sebuah lemari.
Letak lemari itu persis menghadap pintu. Bahannya dari kayu dan berpintu dua, seperti lemari baju di kamarku. Aku ragu sejurus, lalu memutar kunci pintu sebelah kiri. Diiringi bunyi derit, pintu membuka lebar.
Isi lemari sebelah kiri terbagi menjadi tiga rak. Rak terbawah diisi buku-buku yang halamannya menguning. Semuanya buku ilmu ekonomi, mungkin dari zaman Tante Dinah berkuliah. Rak tengah ditempati tas-tas yang sobek dan ritsletingnya lepas.
Pada rak teratas berjajar tiga boneka berwujud anak perempuan. Aku mengenali jenis boneka ini: kepala serta kaki-tangan terbuat dari plastik, dan badannya diisi kapuk. Ketiga boneka mengenakan gaun dan duduk dengan kaki terjulur ke depan.