Boneka Petaka

Eve Shi
Chapter #6

Bab 5: Bukan Tumbal

5. Bukan Tumbal

Tidak lulus seleksi. Tiga kata sederhana yang telak meninju ulu hatiku. Tiga kata yang paling menusuk mata dalam pesan dari kantor tempat aku menjalani wawancara.

Kalah dari yang baru lulus atau kurang menuhin kriteria? batinku getir. Nggak ada bedanya, sih. Gue mesti berjuang dari nol lagi.

Dengan maysgul, aku menaruh ponsel di nakas. Kegagalan ini, walau sudah kuantisipasi, tetap saja membuat ngilu. Apalagi aku belum mendapat panggilan wawancara lain.

Tadi pagi, sepulangnya dari pasar, aku memasak makan siang. Selama itu, Ayah menonton serial dan mendengarkan siniar di ponselnya. Rumah Tante Dinah tidak memiliki TV, maka gawai menjadi sumber hiburan utama.

Usai memasak, aku menawarkan teh pada Ayah. Beliau mengiakan sambil mengeklik thumbnail di layar. Nonton apa, Yah? tanyaku iseng, dan beliau menjawab: Film Indonesia. Aktor muda kita aktingnya bagus-bagus, Ayah senang.

Kesepian sungguh kata yang tepat menggambarkan beliau, yang hanya berteman aku, Tante Dinah, dan hiburan di internet. Ayah membuka WhatsApp sekadar demi membalas pesan Tante. Mungkin Ayah dikeluarkan dari semua grup WhatsApp yang pernah diikutinya.

Ayah diasingkan teman dan kenalan, sedangkan aku sulit mendapat kerja. Namun, manusia harus terus melangkah ke depan. Udahan dulu galaunya. Cari lowongan dan kirim lamaran lagi! Walau begitu, aku butuh beberapa menit untuk menyembuhkan kecewa.

Dari jendela kamarku tampak jalanan kompleks. Dua anak balita berlarian, menendang-nendang bola dan memekik girang, diawasi seorang wanita muda. Selagi mereka bermain, sinar matahari meredup dan awan-awan berkumpul di langit.

Sebuah Pajero Sport memasuki jalanan kompleks, dan wanita muda tadi menarik anak-anak agar minggir. Mobil hitam itu berhenti di depan rumah Bu Welas. Dari dalamnya turun dua orang: putra Bu Welas dan seorang gadis.

Berbeda dengan tadi pagi, putra Bu Welas mengenakan kaus lengan panjang dan celana denim. Rambutnya yang lurus dan hitam legam disisir rapi. Gadis yang bersamanya berbaju biru, dengan paras manis dan bibir bak mawar merekah.

Bu Welas keluar ke teras, masih dengan daster batik. Gadis itu menyalami beliau dan mencium tangannya. Saat dia menegakkan punggung, Bu Welas berbicara padanya sambil tersenyum.

Pacar anaknya, ya? pikirku kepo selagi ketiga orang itu memasuki rumah. Enaknya, pacaran direstui orang tua.

Ponselku bergetar, pertanda ada panggilan masuk. Alisku bertaut: Dari siapa, nih? Teman yang juga lagi cari kerja?

Begitu aku melihat foto penelepon, isi perutku terpilin. Om Reno. Abang Mama, yang dulu mengusulkan hak milik rumah berpindah tangan—dan menjual rumah setelah Mama tiada. Orang yang paling tak ingin kutemui kapan pun juga.

Mau apa Om Reno? Tak ada lagi benda milik aku atau Mama yang dapat dijualnya. Om Reno juga tak pernah memberi info pekerjaan padaku. Salah tekan nomor, barangkali?

Getar ponsel berhenti, lalu berlanjut, meruntuhkan teoriku tentang keliru telepon. Apa pun tujuan Om Reno, pasti bukan hal yang menguntungkan bagiku. Sambil mendecak, aku menggeser tombol virtual.

"Halo," gumamku, malas bersikap sopan.

"Halo, Mai?" kata Om Reno. Bagai cermin sikapku yang ogah-ogahan, beliau bertanya dengan nada setengah menghardik. "Om dengar kamu tinggal dengan ayah tirimu?"

Aku mendesah. Sambil membongkar barang-barang kemarin sore, aku merekam seisi kamar dan mengunggah videonya ke Instagram. Posting itu otomatis terunggah pula ke Facebook, dan pasti terlihat oleh Om Reno.

Gue lagi tinggal di rumah keluarga, kataku dalam video itu. Jujur, kurang enak nyusahin orang. Doain gue lekas dapat kerja dan tempat tinggal baru, ya, guys!

Sudah lama aku ingin unfollow Om Reno di Facebook. Bantuan pada Mama berujung pada perampasan rumah kami; tiap kali aku mengingatnya, dadaku perih. Aku tak ingin laki-laki ini lebih jauh merecoki hidupku.

"Iya," jawabku singkat.

"Tinggal di mana dia? Di rumah lama istrinya, tempat—"

Pertanyaan Om Reno terputus. Akan tetapi, akhir kalimat itu gamblang tersirat: Tempat anak kandungnya tewas. Bagi Om Reno, apa pun yang terjadi hari itu, hasilnya tak terbantahkan: Arel kehilangan nyawa gara-gara Ayah.

"Di rumah Tante Dinah," sahutku.

"Di mana itu?"

"Om mau apa?"

Terdorong emosi, ucapanku lebih ketus daripada yang kuniatkan. Sekilas aku menyesal, lalu mengekang rasa sesal itu. Om Reno harus paham bahwa aku tak ingin sering berkontak dengan, apalagi bergantung pada, dirinya.

"Kamu tidak takut tinggal sama dia?" tukas Om Reno.

"Ayah nggak bersalah, Om. Ayah sayang anak-anaknya. Aku buktikan sendiri selama tinggal bareng beliau. Meninggalnya Arel itu kecelakaan."

Om Reno mendengus. "Kamu panggil dia Ayah saja sudah aneh. Ayahmu hanya satu, mendiang papamu! Seharusnya kamu panggil dia Om Feri."

Lihat selengkapnya