6. Boneka
Putra Bu Welas juga mendengar tangis bayi. Percuma mengelak atau berpura-pura tak paham, maka aku menyahut, "Suaranya dari tanah kosong, kan?"
Pemuda itu mengiakan. "Kata orang, di kompleks ini pernah ada perempuan dicerai suami. Sidang cerai kelar, tahu-tahu bayinya sakit dan meninggal. Gara-gara shock dua kali, ibunya kubur bayi itu di tanah kosong."
Aku bergidik. Jika kisah tadi nyata, alangkah malangnya bayi itu. "Nangisnya sering?" gumamku. "Baru dua hari di sini, udah dua kali gue dengar...."
Pemuda itu menatapku lurus-lurus. "Dua kali? Lo peka sama hal-hal nggak kasatmata?"
"Uh, iya."
"Sama." Ringan saja dia mengucapkannya, seperti menyatakan bulan terbit dari timur. "Turunan keluarga?"
"Dari mendiang Papa."
"Gue dari Kakek. Ayah gue malah lebih peka lagi."
Tangis bayi makin lirih hingga akhirnya berhenti. Aku bernapas lega, meskipun tahu kelak akan mendengar tangisnya lagi. Sementara itu, putra Bu Welas mengulurkan tangan di atas pagar.
"By the way, gue Johan."
Aku maju ke pagar dan kami bersalaman. "Gue Mai. Terus terang, gue bukan takut sama suara itu. Lebih ke … kasihan."
Mama hilang selamanya dari hidupku. Ditunggu sampai kapan pun, beliau tak akan pernah mendatangiku. Akibatnya, hatiku rentan terhadap anak-anak yang menunggu orang tua dan tak kunjung dijemput.
"Tenang aja, dia nggak ngancam," kata Johan. "Cukup pikirin yang baik-baik tentang dia. Makin lo takut, makin sering tangisnya kedengaran."
"Oke. Makasih buat life hack-nya."
Johan tersenyum, lalu berjalan kembali ke rumahnya. Aku memandangnya dari belakang sampai dia menurunkan rolling door garasi. Rasa kaget akibat diceritai tentang bayi tanah kosong mulai surut, disilih oleh terpesona.
Sifat supel dan ramah. Fisik langsing dan berotot. Bagiku, dua hal ini termasuk definisi cowok idaman. Kepekaan yang sama denganku adalah nilai plus. Jika Johan berteman denganku, atau menjadi bukan sekadar teman—
Lalu aku ingin menjitak kepalaku. Ngaco! Dia punya pacar, direstui mamanya lagi. Mau jadi pelakor lo, Mai?
Jengah dan sebal pada diri sendiri, aku menyalakan sprinkler dan menyirami rumpun anyelir. Di luar khayalanku tadi, aku menghargai sikap Johan yang wajar tentang kepekaan kami. Sikap itu sedikit banyak memengaruhiku, dan aku bertekad tak terlalu meresahkan tangis bayi.
***
"Mai?"
Aku berhenti menonton reel Instagram yang diunggah Risha. Tante Dinah berdiri di ambang pintu kamarku yang terbuka. Wajahnya yang lonjong tampak segar sehabis mandi, dan rambutnya digelung rapi.
"Ya, Tante?" Aku menaruh ponsel dan menepuk tepi tempat tidur. "Masuk aja sini."
Tante Dinah masuk ke kamar dan duduk di tepi tempat tidur. "Pak Reno barusan telepon Tante."
Aku menelan ludah. Nadiku berdenyut kencang di pelipis, terasa sampai ke ubun-ubun. "Apa katanya?"
"Dia ingin jodohkan kamu dengan anak temannya. Harapan Pak Reno, Tante—sebagai anggota keluargamu yang paling tua—beri pengertian ke kamu. Anak temannya ini penyayang, rajin, tidak pernah judi atau pakai narkoba."