7. Pukul Tiga Pagi
"Oma dapat boneka dari mana, Yah?"
Ayah melengak, batal menyuapkan nasi ke mulut. Pagi ini kami menyarap berdua saja. Menunya nasi goreng udang kesukaan Ayah dan teh jeruk panas.
Tiap Sabtu pagi, Tante Dinah mengikuti senam tera bersama warga kompleks lainnya. Umumnya mereka pensiunan dan ibu rumah tangga. Senam yang namanya konon diambil dari kata terapi itu dilangsungkan di taman kompleks.
"Kenapa tanya?" kata Ayah lirih. "Kamu masih penasaran soal boneka?"
Beliau tak tahu tentang kepekaanku pada makhluk tak kasatmata, sebab Mama dan aku tak pernah bercerita. Ayah tahu sekalipun, tak ada pengaruhnya ke hubungan kita bertiga, kata Mama, dan aku setuju.
Jika tahu tentang kepekaanku, akankah Ayah membeberkan riwayat boneka atau justru menutupinya? Kepalang sampai sini, untung-untungan aja dulu.
"Habisnya, boneka tua tapi masih kayak baru. Diwariskan turun-temurun, lagi. Kemarin aku ke gudang soalnya ada yang ketuk pintunya dari dalam. Boneka-boneka itu juga muncul di mimpi aku."
Sendok Ayah menggelincir dari pegangan dan jatuh berdentang di piring. "Apa?"
"Aku nggak sinting, Yah. Mimpinya juga baru banget, jelang pagi tadi."
Ayah menarik tangan dari atas meja. Otot pipinya berkedut, dan kerut-kerut wajahnya makin dalam menggurat kulit. Aku menunggu dengan sabar, siap dengan apa pun jawaban beliau.
"Boneka itu," Ayah mulai berkata. Beliau mengangkat tangan kanan, mengusapkan buku jari ke dagu. "Boneka itu hadiah dari laki-laki yang sedianya menikah dengan Oma."
Ganti aku yang terkesima. "Laki-laki yang.... Berarti bukan Opa?"
Ayah mengangguk dengan kaku. "Laki-laki itu dan Oma sudah berjanji saling setia. Tapi keluarga Oma menolak punya menantu dia. Masalahnya, mereka beda suku."
"Oh."
"Oma dinikahkan dengan pria pilihan orang tua." Suara Ayah berubah datar, tanpa tekanan. "Hadiah bonekanya tetap disimpan. Sayang, kata Oma, boneka cantik begini. Oma meninggal. ganti Tante yang rawat boneka."
"Yang mana yang pemberian mantannya Oma?" tanyaku.
"Yang rambutnya hitam. Dua lagi dibeli Oma, untuk teman boneka itu."
Teman. Boneka perlu teman, sama seperti manusia. Khususnya boneka yang mampu mengetuk pintu dan menerobos mimpi. Gagasan itu membuatku gelisah, sekaligus terlalu logis untuk dihalau.
"Bonekanya punya nama?" tanyaku. "Bajunya diganti yang baru sama Oma?"
"Namanya Lieke," sahut Ayah. "Itu nama pemberian dari mantan Oma. Tante Dinah yang ganti baju mereka."
Seringai Lieke yang nyaris mengejek terkilas di depan mataku. "Dia boneka istimewa, kan?" Aku menegaskan.
Pipi Ayah berkedut lagi. "Istimewa apanya? Dia cuma boneka biasa! Barang peninggalan lama, disimpan tantemu untuk kenang-kenangan."
"Ketukan di gudang—"
"Itu khayalan kamu saja!" potong Ayah. "Kamu lagi banyak pikiran karena belum dapat kerja, pantas dengar yang aneh-aneh. Fokus ke pekerjaan saja, Mai, itu lebih penting!"
Aku tidak menyahuti ucapan Ayah. Jika aku mendebatnya, perbincangan ini bisa berlarut-larut. Boneka bernama Lieke itu—dan kedua temannya—akan kuselidiki sendiri saja.
***