8. Suara Wanita
Meski aku telah menduga bahwa si penghuni halus mampu bertindak ekstrem, ucapan Johan tetap menyeramkan. Esok atau lusa, bisa saja si penghuni menjegalku di tangga. Kecuali aku melihatnya lebih dulu—tapi lebih mungkin dia mengendap-endap dari belakang, seperti pada malam itu.
"Yang teriak di ruang tamu, suaranya laki-laki atau perempuan?" tanya Johan.
Aku menggali ingatan. "Laki-laki, atau perempuan yang suaranya berat."
Penghuni halus sebuah bangunan banyak yang dulunya manusia hidup. Namun, ada pula yang bukan manusia sedari awal, alias makhluk lain. Entah jenis yang mana penghuni rumah Tante, serta apa alasan dia gusar padaku.
"Sebelumnya, di rumah Tante Dinah pernah ada suara atau gangguan?"
Johan tampak sangsi. Lalu dia menjawab dengan hati-hati, seakan khawatir menyinggung perasaanku, "Belum. Baru setelah Pak Feri datang."
Spontan jemariku saling berjalin erat. Gangguan baru muncul setelah Ayah—dan aku—pindah ke rumah Tante. Si penghuni halus bereaksi atas kehadiran kami berdua. Ini petunjuk penting, tapi aku justru jeri.
Bagaimana bisa, di malam pertama tinggal di rumah Tante, aku sudah membuat marah penghuninya? Adakah perbuatanku yang menyinggung dia? Juga, apa cara mencegah si penghuni halus agar tidak makin beringas?
Suara Johan menyeruak di tengah kebingunganku. "Coba omongin sama ayah lo."
"Omongin ... tentang si penghuni halus?" Aku mengembuskan napas keras-keras. "Udah, sewaktu sarapan tadi. Gue nanya soal boneka warisan dari ibunya Ayah. Malah dibilang berkhayal."
Dahi Johan berkerut. "Boneka?"
Aku memaparkan tentang tiga boneka di gudang serta mimpiku. Johan menyimak dengan saksama. Di akhir kisahku, dia berkata, "Dari cerita lo, gue juga yakin itu bukan boneka biasa."
"Iya, kan?" Aku setengah berseru, lega oleh dukungan ini. Ayah tahu sesuatu, tapi berkeras menutupinya. Padahal, makin aku paham situasi, makin aku dapat menyusun taktik menghadapi boneka.
Johan mengetuk-ngetukkan buku jari di lutut. "Gue boleh lihat boneka-boneka itu?"
"Huh?" Aku terpana. "Boleh, sih. Cuma jadinya ngerepotin lo...."
Dia tersenyum, lebih lebar daripada biasa. Hanya sedetik, tapi bagai menyetop detak jantungku. Lalu jantungku ganti berpacu kencang, hingga aku malu bercampur jengkel.
Mulai, deh! Bukan waktunya terpesona sama senyum dia. Ayo, yang konsen!
"Nggak, nggak ngerepotin," kata Johan, dan aku memusatkan perhatian pada suaranya. Denyut jantungku telah kembali normal, tapi senyum Johan masih terbayang. Duh, sial.
"B-betul nggak ngerepotin?" Saking gugupnya, aku mengulangi kata-kata Johan.
"Lihat bonekanya sebentar aja, habis itu gue langsung pulang."
"Oh, ya, udah," sahutku, sedikit tergesa. "Sekarang aja, yuk."
***
Ayah tampak heran ketika Johan mengucapkan salam di ambang pintu depan. "Ada perlu apa?" tanya beliau sambil meletakkan tablet di sofa. Huruf-huruf dan foto terpampang di layar; sejak tinggal bersama Tante Dinah, Ayah berlangganan surat kabar digital.
"Pinjam buku," sambarku cepat. Seraya mendahului Johan masuk ke rumah, aku menambahkan, "Johan hobinya baca, kayak aku."
Jelas ini karanganku belaka, sebab aku belum tahu apa hobi Johan. Benar bahwa aku sering membaca buku (dan membelinya, hobi yang sama sekali berbeda), tapi buku-bukuku ada di rumah kos. Di kamar atas hanya ada satu novel, yakni yang sedang kubaca.
"Permisi, Pak Feri," ujar Johan.
"Silakan," kata Ayah. Aku menuju tangga, Johan mengikutiku, dan Ayah menukas, "Johan harus ikut naik? Bukunya tidak bisa kamu ambilkan?"
"Biar dia bebas pilih-pilih buku, Yah," kataku, sama gesit dengan tadi. Ayah memandangku tajam, dan aku menghadapkan telapak tangan ke depan seperti mengucapkan sumpah Pramuka. "Kami nggak bakal ngelakuin yang lain, swear."
Walaupun masih ragu, Ayah memberi izin Johan naik ke atas. Johan berterima kasih, dan kami berdua mendaki tangga. Setibanya di depan gudang, aku memberi isyarat agar kami masuk bersama-sama.
Hawa pengap dalam gudang tak setebal saat aku pertama datang kemari. Meski begitu, aku teringat mimpiku: Lieke yang melompat bagai siap menerkam. Seraya menepis ingatan itu. aku membuka pintu lemari sebelah kiri, lalu menepi agar Johan melihat isinya.
Seraya mendekat ke lemari, dia mencermati ketiga boneka. Ketiganya duduk bersandar, tampak jelita tanpa dosa. Johan mengamati mereka, lalu mundur dari lemari. Wajahnya agak tegang, tapi selain itu tak ada gelagat dia terintimidasi.