Boneka Petaka

Eve Shi
Chapter #10

Bab 9: Musibah

9. Musibah

Ketika melewati gudang, aku menoleh sejenak. Tak ada ketukan maupun bunyi lain. Meski begitu, ketiga boneka pasti mengendus kehadiranku.

Perkenalannya udahan, ya? Gue udah tahu kalian boneka kayak apa. Jadi, cukup. Jangan ganggu gue lagi!

Aku mengisi panci dengan air dan menjerangnya di kompor. Hujan, alih-alih reda, justru kian mengganas. Airnya mengguyur bumi tanpa ampun, ditimpali guntur yang memekakkan telinga.

Seusai aku mandi, jam ponsel menunjukkan waktu pukul lima sore. Di meja makan, aku menata teko berisi teh panas serta jajanan pasar yang kubeli dalam perjalanan pulang. Dari sana aku menuju kamar Ayah dan mengetuk pintu.

"Ayah?" Aku berbicara lantang demi mengalahkan bunyi hujan. "Tehnya sudah siap. Mau minum sekarang?"

Aku menunggu sambil memasang telinga, tapi tak ada respons. Pagi tadi Ayah mengaku kurang enak badan dan akan tidur seharian. Tante Dinah menghadiri reuni sampai malam. Sebelum pergi, Tante menyuruh Ayah meneleponnya jika butuh sesuatu.

Apa pun kondisi Ayah sore ini, aku wajib mengeceknya. "Ayah, aku masuk, ya."

Handel pintu agak macet saat kutarik. Aku mengerahkan tenaga; pintu terbuka, menampakkan kamar yang gelap gulita. Guntur menggelegar—Blarr!—begitu keras hingga bahuku tersentak.

Aku melangkah ke dalam kamar. "Ayah?"

Tetap tak ada respons. Tanganku meraba-raba dinding, menemukan sakelar, dan menekannya. Sinar lampu kontan menerangi seisi kamar.

Kamar Ayah lebih luas dibandingkan kamarku. Lemari bajunya bersisian dengan double bed yang dipasangi seprai ungu tua. Meja rias dilengkapi cermin tinggi dan berhadapan dengan lemari.

Ayah berbaring di atas tempat tidur. Yang tampak hanya puncak kepalanya; sekujur badan Ayah tersembunyi di bawah selimut. Posisi beliau menyamping dan memunggungi pintu.

Aku menghampiri tempat tidur. "Yah, ada teh dan jajanan di meja. Ayah gimana, udah baikan?"

Jawabanku adalah gelegar guntur yang sekeras tadi. Setelah sempat ragu, aku memberanikan diri untuk mengulurkan tangan. Kusentuh bahu Ayah yang tertutup selimut dan kuguncang perlahan.

"Ayah—"

Badan Ayah tiba-tiba terdorong ke depan seolah ditolakkan dengan kasar. Terkejut, aku menarik tanganku. Selimut meluncur turun dari kepala Ayah, menyingkapkan profil samping wajahnya.

Hampir saja aku berteriak. Mata Ayah membelalak dan mulutnya terpentang lebar. Badan beliau kaku seperti patung. Tak ada tanda-tanda pula bahwa Ayah bernapas.

Otakku buntu. Jantungku berdentam satu kali, lalu denyutnya melambat. Aku menyibakkan selimut ke samping dan, dalam kalutku, melemparnya ke lantai.

Ayah setengah meringkuk di tempat tidur. Benda kecil berwarna merah muda dan hitam melekat di dada beliau. Butuh beberapa detik bagiku untuk mengenali benda itu: Lieke.

Dia turun dari gudang ke lantai bawah, dan kini tangannya mencengkam kaus Ayah.

Dadaku panas. Telingaku berdenging oleh bunyi hujan dan shock yang mendera. Sementara itu, Ayah tetap terbaring tanpa suara dengan mata tak berkedip.

Selagi aku terpaku memandangnya, Lieke memiringkan kepala. Persis dalam mimpi, dia menyeringai lebar. Gigi-giginya besar dan putih mengilap: gigi hewan buas yang siap memangsa.

Bola mata Lieke bergulir dalam rongganya. Dia melepaskan kaus Ayah, lalu merangkak di lengan beliau—tepat ke arahku.

"Ahh!"

Aku terpekik; suaraku tenggelam oleh guntur keras yang ketiga. Tanpa ayal, aku memelesat keluar kamar. Yang ada di benakku hanya satu: harus lolos dari boneka itu.

Di ruang tamu, aku mengerem lariku dan berpaling. Di belakangku tak ada siapa-siapa. Aku hampir lega, lalu sadar bahwa Ayah butuh pertolongan medis.

Bergegas aku naik ke lantai dua dan mengambil ponsel dari tas. Selagi aku membuka WhatsApp untuk menelepon Tante Dinah, perhatianku tersangkut pada sudut atas layar. Tak ada tanda sinyal, yang berarti tak ada koneksi internet.

Apa-apaan? Wi-fi mati? Gara-gara hujan atau sengaja dimatikan oleh—?

Aku memenggal kalimatku sebelum selesai; situasi sudah cukup runyam tanpa otakku harus melantur. Sambil mengantongi ponsel, aku lekas-lekas kembali ke lantai satu.

Lihat selengkapnya