10. Novi
Siang itu, Ayah dikebumikan di pemakaman umum terdekat. Satu-satunya kerabat yang masih ada bernama Om Yoga, sepupu Tante. Beliau datang sendiri tanpa anak-istri, naik pesawat paling pagi dari Semarang.
"Mas Feri sakit apa, Mbak?" tanya Om Yoga pada Tante Dinah. Wajah lonjong dan rambut ikalnya menegaskan pertalian darah mereka. Om Yoga mendampingi Tante di ruang tamu selagi aku menyeduh kopi.
"Sepertinya masalah jantung," jawab Tante. Wajahnya kuyu akibat kurang tidur dan matanya sembap. "Kesehatan Feri juga menurun belakangan ini."
Tante tidak menyebut-nyebut penjara, tapi Om Yoga agaknya mafhum. Aku datang membawa nampan, dan menyuguhkan kopi masing-masing satu mug besar untuk keduanya. Tante mengambil mug dan minum dengan lamban.
"Berat sekali, ya, cobaan untuk Mas Feri," ujar Om Yoga penuh simpati. "Sekarang dia sudah tenang. Tidak sakit lagi, jauh dari orang-orang yang tuduh dia sembarangan."
Om Yoga percaya Ayah tidak bersalah. Atau beliau sekadar menghibur Tante Dinah yang tengah berkabung. Yang mana pun itu, aku lega akan adanya dukungan dari keluarga Tante.
Perjalanan ke pemakaman berlangsung tanpa kendala. Aku dan Tante Dinah naik mobil yang disewa Om Yoga. Di gerbang pemakaman, Pak RT telah menunggu kami.
Beliau memandu Johan dan dua warga lain menandu jenazah Ayah ke kapling yang telah disediakan. Bu Welas mengiringi dari belakang, disusul aku, Tante Dinah, dan Om Yoga. Wajah Tante pucat, tapi ekspresinya tegar.
Di bawah hamparan awan mendung, petugas pemakaman menurunkan jasad Ayah ke liang lahat. Sejumlah teman Tante turut datang melayat. Om Reno dan istrinya berdiri di sisi pusara. Mereka berdua mengenakan baju dan kacamata hitam lebar, mengingatkan aku pada aktor dalam film.
Kehadiran abang Mama tak urung mengorek luka lama. Mama meninggal, rumah kami dijual. Ayah meninggal, gue pasti tambah didesak kawin sama anak temannya. Kapan, sih, gue bebas dari Om Reno?
Petugas pemakaman selesai menimbun jasad Ayah. Salah satu dari mereka memasang papan bertuliskan nama serta tanggal lahir dan meninggal. Ketika membacanya, aku terkenang hari saat berjumpa Ayah di rumah Tante.
Beliau telah tiada. Tak sempat melihat aku mendapat pekerjaan baru. Ayah telah tiada, dan itu gara-gara—
Sebelum pikiran itu tamat, aku memangkasnya. Boneka-boneka sudah mengacaukan setiap hari dan malamku di rumah Tante. Cukup sampai di situ dulu gangguan mereka. Momen ini, saat aku melepas Ayah untuk kali terakhir, tak boleh ternoda pula.
***
Seusai pemakaman, Om Reno dan istrinya mampir di rumah Tante Dinah. Risha, yang mengambil jatah cuti setengah hari, tiba tak lama kemudian. Tante sendiri hari ini telah mengajukan izin libur.
Kami semua berkumpul di ruang tamu. Tante meladeni pertanyaan Om Reno dan istrinya tentang Ayah. "Di keluarga saya memang ada riwayat sakit jantung," kata Tante. "Kakek saya juga meninggalnya mendadak begini."
Bersama Om Yoga, Bu Welas memesan makanan dalam porsi besar untuk aku dan Tante. Mereka berdua berkeras memakai uang sendiri serta menolak dibayar.
"Bu Dinah dan Mai baru kena musibah," ujar Bu Welas. "Pulihkan diri saja dulu." Kendati sungkan, Tante menerima itikad baik tetangga dan sepupunya.
Om Reno dan istrinya tidak menawarkan makanan atau hal serupa. Malu, kali, keduluan Om Yoga dan Bu Welas, batinku. Aku pun lega sebab malas berutang budi pada mereka.
Setelah makan siang, Om Reno dan istrinya pamit pulang. Om Yoga, yang sudah memegang tiket ke Semarang, langsung menuju bandara. Beliau menampik permintaan Tante Dinah untuk menginap.
"Bolak-balik begitu pasti capek," protes Tante.
"Aku masih kuat, kok," sahut Om Yoga sambil tersenyum. "Cutiku juga cuma sehari ini. Besok aku sudah harus kerja lagi."
Diam-diam aku setuju Om Yoga langsung pulang. Kebaikan hati beliau membawa tenteram di tengah suasana duka bagi aku dan Tante. Akan tetapi, boneka-boneka mungkin tak menyukai kehadirannya, maka Om Yoga harus berada di tempat aman.
Risha dan aku mencuci piring dan gelas bekas makan siang. "Butuh apa, Mai?" tanya Risha selagi kami menyikat piring dengan spons. "Butuh didengerin atau dibiarin dulu?"
"Butuh dibiarin." Aku menghela napas panjang. "Masih kaget banget gue. Mendadak ketemu Ayah, mendadak juga kehilangan.... Makasih, ya, Sha."
"Anytime." Risha mengerling ke arah ruang tamu. "Omong-omong, cowok tetangga depan siapa namanya?"
"Ngg? Johan."
"Tinggi, yak. Ganteng lagi, mirip Ji Chang-wook."