11. Mutilasi
Guntur meledak keras, mirip dengan beberapa menit sebelum Ayah meninggal. Hujan terus turun: lebat, gaduh, tanpa henti. Dinginnya udara menembus kulitku sampai ke daging.
Tante Dinah mendesah. "Arel tidak sudi diperbudak boneka. Begitu katanya. Dia minta ayahmu buang mereka jauh-jauh."
Tidak bisa, Arel! tukas Ayah. Oma pernah konsultasi ke orang pintar. Nasihat orangnya, jangan menyinggung Lieke dan teman-temannya. Pelihara terus sesuai kemauan mereka.
Minta pendapat dari orang pintar lain saja, Yah! balas Arel. Perlu aku yang carikan? Ayah tega mewariskan kutukan padaku dan anakku kelak, menambah risiko jumlah korban?
"Jumlah korban?" tanyaku. "Ada lagi selain Opa dan Novi?"
"Ayahmu," kata Tante Dinah datar. "Dia pernah diserang boneka. Sewaktu kecil, ayahmu aktifnya minta ampun. Tidak bisa diam—selalu lari, lompat, panjat ini itu, semua barang diperiksa."
Suatu sore, Dinah yang berusia tujuh tahun ditugaskan menjaga Feri. Orang tua mereka sedang melayat tetangga yang meninggal. Dinah menggambar di meja makan, sementara Feri hilir mudik di dalam rumah.
Selagi Dinah asyik memilih-milih spidol warna, tiba-tiba Feri menjerit kesakitan. Dinah terkejut dan memelesat ke kamar orang tuanya, begitu terburu-buru sampai nyaris tergelincir.
Feri tergolek di lantai kamar sambil menangis. Pintu lemari terbuka; Lieke dan satu boneka gaun hitam duduk di rak terbawah. Boneka ketiga menelungkup di lantai dekat tempat tidur.
Dari cerita adiknya yang terpatah-patah, Dinah berusaha memahami peristiwanya. Feri membuka pintu lemari dan mengambil salah satu boneka gaun hitam. Ibu mereka kerap melarang anak-anak memegang boneka, tapi manusia makin penasaran bila dilarang.
Feri memutar-mutar, mengayunkan, dan mendorong-dorong si boneka. Belum puas, dia mengacungkan lengan ke atas sambil menerbangkan boneka seperti pesawat. Dia menirukan bunyi pesawat lepas landas, dan si boneka melejit dari tangan Feri—tepat ke wajahnya.
Boneka membentur hidung Feri, begitu keras sampai dia jatuh terduduk. Jemari boneka mencakar bola matanya seperti siap mencungkil. Feri menjerit, dan boneka kembali melejit sampai mendarat di lantai.
Kisah ini membingungkan Dinah, tapi tidak mencegah dia bertindak sigap. Yang penting adalah mereka tidak boleh sampai dimarahi orang tua. Dinah menyimpan kembali boneka dalam lemari, mengunci pintunya, dan menuntun Feri keluar kamar.
Mereka tak pernah mengungkit insiden itu—pada satu sama lain, apalagi pada orang tua. Namun, mereka pun tidak melupakannya. Maka, setelah mereka dewasa, kisah Oma tentang riwayat boneka tak terlalu mengejutkan.
Aku tercenung. Dinginnya udara kini merasuk ke sumsum tulang. Seraya menggosok-gosok lengan, aku bertanya, "Yang pernah ke orang pintar cuma Oma? Ayah atau Tante sendiri gimana?"
"Ayahmu pernah, satu kali, sebelum kenal Bu Yusi. Nasihatnya sama dengan orang pintar yang didatangi Oma. Terus wariskan dan pelihara mereka."
Menurut orang pintar, boneka-boneka itu benci jika dilalaikan. Mereka ingin dipelihara agar tidak hancur jadi sampah. Itulah mengapa mereka menempel pada keluarga Oma.
"Kekuatan mereka nggak bisa dihilangkan?" kataku. Suaraku timbul tenggelam, terdorong dari dada yang menyempit. "Nggak ada cara supaya boneka-boneka itu musnah?"
Tante Dinah tampak sama gundah denganku. "Seharusnya ada. Tante saja yang belum ketemu cara yang tepat." Mata beliau berkaca-kaca. "Atau ... Tante terlalu banyak berdalih. Sampai akhirnya terlambat dan ayahmu jadi korban."
Beliau menyeka air mata yang meleleh ke pipi. Jika kami lebih karib, aku sudah memeluk Tante dan menghiburnya. Alih-alih, aku tetap berdiri di tempat, menunggu beliau mengendalikan emosi.
Apakah, setelah puluhan tahun, Ayah akhirnya bosan ditindas? Lalu beliau melawan Lieke demi memutus rantai petaka. Menghindarkan ketiga boneka dari orang yang mungkin terpaksa mewarisinya: aku, satu-satunya anak Ayah.
Jika ini benar, berarti Ayah meninggal akibat membelaku. Saat aku memikirkan ini, jantungku bagai tertusuk jarum.
Ayah, maafkan aku.... Akibat Arel tewas, Ayah dijatuhi hukuman penjara. Seakan itu masih kurang, upaya Ayah menolong anak tirinya harus diimbali nyawa. Sanggupkah aku membalas budi sebesar itu?
"Jadi gimana sekarang, Tante?" kataku. "Kita booking orang pintar, biarpun terlambat? Aku bisa cari info lewat teman-teman."
"Temanmu ada yang kenal orang pintar?" sahut Tante.
"Aku tanya dulu." Pertama, ke Johan. Pengalaman dia kayaknya lebih luas dari gue. Dalam situasi yang menghanyutkan aku hingga terombang-ambing ini, kehadiran Johan—dan kepekaannya yang sama denganku—ibarat mercusuar dalam jangkauan langkah.
***