Boneka Petaka

Eve Shi
Chapter #13

Bab 12: Penyiar Radio

12. Penyiar Radio

"Johan, temani Mai sebentar," ujar Bu Welas. "Nanti Mama bawakan sesuatu kemari."

"Aduh, nggak usah, Bu!" seruku. "Saya nggak apa-apa, kok."

"Sebentar saja," kata Bu Welas tegas. "Kamu baru ditinggal orang tua, sendirian lagi. Minimal Johan bisa jadi teman ngobrol sambil kamu tunggu Ibu."

"Tapi pekerjaannya Johan?"

"Masih ada waktu," sahut Johan. "Gue bakal kasih tahu kalau udah harus mulai kerja."

Akhirnya aku setuju, dan mempersilakan Johan masuk ke rumah Tante. Kami duduk di ruang tamu yang, jika dibandingkan dengan rumah Johan, terasa lapang. Bukan—tepatnya, lebih steril. Bersih dari pernak-pernik maupun benda pribadi seperti foto keluarga.

Setelah beberapa hari tinggal seatap, aku mulai dapat membaca sifat Tante. Gaya bicaranya yang lugas mencerminkan sifat yang jauh dari sentimentil. Karenanya, rumah tanpa pajangan benda pribadi sesuai dengan beliau.

Omong-omong soal rumah, aku harus bersiap ganti tempat tinggal. Jika lokasi kantor baruku jauh dari sini, aku akan pindah ke rumah kos baru.

Pelan-pelan, hei, tegurku pada diri sendiri. Dapat kerja juga belum. Tangani masalah boneka dulu.

"Terus terang aja kalau gue ganggu," cetusku pada Johan.

Dia berlunjur di sofa, tampak nyaman seolah berada di ruang tamunya sendiri. "Nggak. Kalau lagi kerja di rumah, jam segini biasanya memang rada gabut. Sekalian gue kenalan sama tetangga baru."

Di luar kehendakku, wajahku memanas. Tadi itu kode bukan? Ya, bukan, lah! Masa, sih, dia hobi main mata di belakang ceweknya? "Uhh, nggak mesti kirim pesan ke pacar?" tanyaku, lalu sadar pertanyaan itu terlalu pribadi.

Johan berpaling dengan wajah penuh tanya. "Pacar?"

"Cewek baju biru yang Jumat kemarin ke rumah lo," gumamku. "Yang cium tangan Bu Welas."

Keheranan di wajah Johan sontak buyar. "Ah!" katanya. "Itu Saras."

Nama itu tak bermakna apa-apa bagiku, maka aku menunggu penjelasan Johan.

"Ortu gue ikut program anak asuh. Saras itu yang dibantu sekolahnya. Sebentar lagi dia wisuda S1, jadi ke sini buat kabari Mama sekalian sowan. Mumpung WFH, gue jemput dia."

Bagaikan ada kabut terbang pergi dari kepalaku—kabut yang bahkan tak kuketahui ada di sana. "Oh." Hanya itu yang mampu kuucapkan.

Johan tertawa kecil. "Jeli banget lo, sampai ingat bajunya Saras segala. Betulan lo kira dia pacar gue?"

"Ya, mana tahulah gue siapa dia!" tukasku membela diri. Cih! Parah, kayak rebutan gebetan sama cewek lain aja! Saatnya pengalihan isu. "Oya, mama lo mau bawain apa, sih?"

Pada saat itu Bu Welas muncul di ambang pintu. Beliau menjinjing rantang yang terdiri dari dua wadah. Aku menyongsong Bu Welas, dan beliau berkata, "Ini untuk Mai dan Bu Dinah."

"Bu, nggak usah repot...."

"Ah, tidak, Ibu memang sekalian masak banyak." Bu Welas menyodorkan rantang ke tanganku. "Lagi pula, orang sedang berduka butuh tenaga. Mai juga harus kuat supaya semangat cari kerja."

Setelah berterima kasih, aku membawa rantang ke dapur. Isinya soto daging sapi yang menguarkan wangi bawang goreng. Tahu aja Bu Welas gue cinta soto, batinku sambil memindahkan soto ke dalam panci.

Aku kembali ke ruang tamu sambil membawa dua gelas air putih. "Kapan-kapan saya ganti kirim makanan," ujarku pada Bu Welas sambil meletakkan kedua gelas di meja. "Ibu penginnya apa?"

"Kamu pintarnya bikin apa?" Bu Welas balik bertanya.

Lihat selengkapnya