14. Bakar Semuanya!
Tanpa basa-basi, Om Reno bertanya, "Sudah baca pesan Om, kan?"
"Barusan."
"Kapan Om bisa kenalkan kamu dengan anak temannya Om? Namanya Vio. Ganteng, seperti artis Korea."
Bodo amat! "Sudah kubilang aku menolak, Om. Tante Dinah juga dukung keputusanku."
"Kenapa ditolak?" sela Om Reno. "Ketemu dia saja dulu! Lihat sendiri betapa baiknya Vio. Lama kelamaan, kamu pasti jatuh hati."
Di dunia ini banyak laki-laki baik. Namun, masa aku sembarangan menikah dengan salah satunya? Kecuali jika laki-laki itu Johan.
Spontan aku meringis, jengah dengan pikiranku sendiri. Ups! Mulai, deh, ngaco! Hanya karena Saras bukan pacar Johan, bukan berarti dia single. Johan pun menolongku semata-mata terdorong empati, sebagai sesama manusia dengan kepekaan khusus.
"Pokoknya nggak," tukasku.
"Tidak itu pasti ada alasannya. Sudah punya calon?"
"Aku nggak mesti punya calon buat nolak dijodohin sama cowok nggak dikenal."
"Begini saja." Nada membujuk menyelinap dalam suara Om Reno. "Malam nanti Om datang dan bicara dengan kamu dan Bu Dinah, bagaimana?"
Hampir saja aku tersedak. "B-buat apa? Aku tetap nggak akan berubah pikiran, Om!"
"Siapa tahu, kan? Kamu lihat Vio saja belum. Sehabis ini Om kirimkan fotonya. Dari situ saja, sifat baiknya sudah terpancar. Dia ganteng, kamu cantik—kalian akan jadi pasangan yang serasi. Pukul berapa Bu Dinah pulang kerja?"
Ucapan Om Reno tak pelak menyulut dua pikiran. Pertama, setelah bekerja seharian, Tante Dinah lelah. Diganggu tamu yang keras kepala akan memantik emosi beliau. Yang kucemaskan bukan Om Reno dimarahi, melainkan istirahat Tante terganggu.
Kedua, baru kali ini Om Reno menyebut aku cantik. Komentarnya dahulu atas penampilanku jauh berbeda. Hidungmu itu kekecilan, Mai. Pesek! Beliau mengatakannya sambil tertawa, tapi bagiku ledekan atas fisik bukanlah lelucon.
"Tante nggak suka terima tamu malam-malam," sahutku blak-blakan. "Pulang kerja itu waktunya Tante istirahat."
"Ck!" gumam Om Reno. "Berarti Om harus datang pagi-pagi sebelum Bu Dinah kerja. Pukul setengah tujuh?"
Aku memejamkan mata, menekankan punggung jari pada kening. Sebegitu mengototnya Om Reno mengincar bantuan temannya. Tidak adakah cara atau sumber modal lain? Sudah habiskah uang hasil penjualan rumah Mama? Dan seremeh itukah nilaiku, hingga Om Reno selalu mendahulukan uang di atas diriku?
Bukan gue yang nggak berharga. Jawaban itu terpantik dalam benakku. Aku manusia yang punya martabat serta hak melayari hidup sesuai kehendakku. Om Reno-lah yang selalu mengecilkan nilai diriku dan orang tuaku.
Mudah saja bagiku membayangkan argumen Om Reno di depan Tante Dinah. Saya keluarga kandung Mai, Bu Dinah. Saya yang lebih berhak dia patuhi. Aku pun tak dapat mengandalkan Tante untuk membelaku terus-menerus; tugas itu sepenuhnya tanggung jawabku sendiri.
"Mai? Pukul berapa Bu Dinah berangkat kerja?"
Aku membuka mata dan menurunkan tangan. Entah ini imajinasiku atau nyata: dari gudang terdengar tawa geli. Dalam bayanganku, Lieke duduk di lantai sambil menyeringai.
Girang banget dia lihat manusia susah. "Langsung telepon dan janjian sama Tante aja." Suaraku hambar, tanpa tekanan. "Tante yang bisa atur jadwalnya."
"Oke, Om telepon sehabis ini, sambil share nomor teleponmu ke Vio."
Kepalaku bergoyang ke belakang bagai ditampar. "Jangan!"
"Jangan dulu?" tanya Om Reno.
"Jangan kasih nomorku!" Aku setengah berteriak. "Aku nggak mau dijodohkan dengan dia! Nggak mau!"
"Kenalan dulu, Mai, baru kamu pertimbangkan ulang—"
"Nggak, Om! Kalau dia kontak aku, kublokir nomornya! Aku nggak main-main!"
Om Reno mendecak. "Baik, baik. Om baru akan share nomormu sesudah bicara dengan Bu Dinah. Ampun, begitu saja histeris." Om Reno menggumamkan kata-kata mirip: Dasar terlalu dimanja mamanya, lalu memutus koneksi.
Terbakar emosi, aku melempar ponsel ke tempat tidur. Ponsel melanting, lalu mendarat di atas bantal. Emosiku mereda saat aku sadar: jika ponsel jatuh ke lantai dan rusak, aku tak punya dana cadangan untuk membeli yang baru.
Percuma mengamuk, apalagi pada gawai tak berdosa. Aku harus berkepala dingin. Akan tetapi, apa pun sikapku, Om Reno akan tetap memaksakan perjodohan.
Minta Johan pura-pura jadi pacar gue, gitu? Kayak di novel-novel. Uff, tapi kami baru kenal sebentar. Lagian, gue udah cukup repotin dia dengan masalah boneka.
Aku mengenyakkan badan di tepi tempat tidur sambil menyugari rambut. Lalu aku kembali berdiri; duduk justru menghambat kerja otak. Lebih baik aku bergerak dan melakukan sesuatu.
Di luar kamar, sebuah benda berderit.
Aku berjengit: pertama kaget, lalu mengkal. Boneka sialan! Sudah mendorong aku dari tangga, sekarang menakut-nakuti. Aku pun melangkah ke ambang pintu kamar dan melongok keluar.
Pintu gudang, yang tadi menutup saat kulewati, kini membuka. Bunyi derit tadi berasal dari engselnya. Artinya mudah diterka: undangan masuk ke gudang.
"Tadi udah, kan?" tukasku. "Sampai gue nemu koran lama di lemari. Apa lagi sekarang?"