15. Ilse
Di ruang tamu berdiri laki-laki baju hitam. Lagi-lagi dia memunggungi aku, tapi aku mengenali bahunya yang bidang. Tangan kirinya mengepal dan membuka berulang-ulang, dan tangan kanannya sedikit menekuk.
"Bakar sampai habis nggak bersisa!" Dia menghardik lagi.
Lawan bicaranya berada tepat di depan laki-laki itu. Dari posisiku, tampak lengan kausnya yang berwarna hijau. Aku maju agar dapat melihat lebih jelas, dan orang kedua berbicara dengan lembut.
"Nak, dengarkan Ayah."
Nak. Satu kata itu ibarat dentuman meriam di telingaku. Suara orang kedua itu pun kukenal baik: suara milik Ayah.
Yang berarti laki-laki baju hitam adalah Arel.
Apa yang sedang kusaksikan? Pertengkaran mereka? Yang mana, dari sekian konflik antara Ayah dan Arel?
"Boneka-boneka itu harus dimusnahkan, Yah!" sergah Arel. "Minta tolong ke mereka ada imbalannya. Ayah sendiri yang bakal celaka!"
Aku terkesima. Ayah minta tolong ke boneka? Benarkah Ayah mengambil tindakan berisiko seperti itu? Barangkali Arel keliru.
"Kapan Ayah minta tolong pada mereka?" tanya Ayah. "Minta tolong apa?"
Tangan kiri Arel tak lagi mengepal. Namun, nada suaranya bak lecutan cambuk. "Bunuh selingkuhan Bunda."
Kepalaku terasa berputar-putar. Bu Yusi berselingkuh? Aku sama sekali tak pernah berpikir sampai ke sana. Itukah mengapa Arel curiga Ayah minta boneka untuk menyingkirkan si selingkuhan?
"Dia meninggal bukan karena boneka, Arel," sahut Ayah tegas. "Kecelakaan mobil itu murni musibah. Masa kamu tidak percaya pada Ayah?"
Sunyi sejenak. Aku menunggu dengan jantung berdegup kencang. Lalu Arel bertanya, "Betul bukan karena Ayah? Ayah nggak dendam ke Bunda dan ingin laki-laki itu mati?"
Ayah menggeleng. "Ayah akui, waktu itu Ayah marah pada bundamu. Demi laki-laki itu, dia memutus ikatan pernikahan. Tapi Ayah juga sadar, minta tolong boneka besar bahayanya!"
Suara Ayah meninggi oleh emosi.
"Imbalannya berat, Nak! Bisa merusak keluarga kita, atau bahkan kita juga tewas! Ayah tak akan lakukan itu pada kamu atau bundamu."
Arel menyengap. Aku ikut diam, menyerap informasi baru ini. Alasan perceraian Ayah dan Bu Yusi adalah perselingkuhan. Pasangan selingkuh Bu Yusi tewas dalam kecelakaan mobil. Insiden itu tak tersangkut-paut dengan Ayah, yang paham bahayanya kekuatan boneka.
"Sama aja," ujar Arel dengan suara rendah. "Boneka-boneka itu ancaman bagi keluarga kita. Bagi aku dan anak-anakku kelak. Harus dibinasakan sampai nggak bersisa."
"Ayah sudah pernah coba," jawab Ayah. "Dua boneka Ayah bakar bersama sampah. Besoknya, mereka kembali ke lemari. Bajunya agak gosong, tapi selain itu badan mereka utuh."
Arel menggeram. "Harus pakai cara lain makanya. Dibakar aja nggak cukup. Akan aku potong-potong dulu biar nggak hidup lagi!"
Dia mengacungkan tangan kanan yang sejak tadi setengah tersembunyi oleh badannya. Tangan itu memegang pisau runcing dan berbilah tajam. Arel mulai melangkah dan Ayah berteriak.
"Arel! Jangan! Kamu yang celaka nanti! Arel, kemarikan pisaunya!"
Ayah menerjang Arel, berusaha merebut pisau. Arel mengelak dengan tangkas, mengangkat tangan setinggi bahu. Dia melompat, menjauhi Ayah—dan, bagai menjelma dari udara, Lieke muncul tiba-tiba.
Boneka itu melayang dan hinggap di tangan Arel. Lieke tertawa, lantang dan gembira, hingga darahku bagai membeku. Tak pelak lagi, suara tawa inilah yang didengar warga yang berada dekat rumah.
Sebelum sempat ada yang bereaksi, Lieke memutar pergelangan tangan Arel.
Bilah pisau menggorok leher Arel. Luka lebar dan merah kontan menganga di lehernya, persis yang kulihat dalam mimpiku. Darah menyembur, meleleh ke kaus Arel.
Dia terhuyung ke depan; pisau terlepas dan jatuh dari genggamannya. Arel tersungkur sampai rubuh dan menelungkup di lantai. Darah menyebar, menggenang dengan cepat; badan Arel mengejang satu kali, lalu sama sekali bergeming.
"Arel! Nak!"
Teriakan Ayah melengking pilu, menikam telinga dan hatiku. Beliau berlutut sambil memanggil-manggil nama putranya. Aku hanya dapat mematung selagi suara beliau bertalu-talu di telingaku.