Boneka Petaka

Eve Shi
Chapter #17

Bab 16: Penggal

16. Penggal

Kamarku dan kamar mandi lantai atas kosong. Begitu pula gudang yang, entah mengapa, lampunya menyala. Aku masuk ke gudang dan memantau sepenjuru ruangan.

Di mana Johan? Terlempar ke masa lalu, seperti aku tadi? Mungkin saja, sebab kami sama-sama punya kepekaan.

Sama kayak gue tadi, dia bakal balik ke masa kini. Aku harus berasumsi dia aman untuk sementara, selagi aku menangani sumber masalah.

Aku membuka pintu lemari sebelah kiri. Ilse—wujud bonekanya—kembali berada di rak teratas, bersama potongan-potongan badan Beatrix. Dengan satu tangan, aku menyampuk mereka hingga jatuh dan berserakan di lantai.

Harus cepat, sebelum mereka cegah gue.

Aku mengiriskan bilah pisau pada kain yang menyambungkan kepala dan badan Ilse. Kain itu robek; aku mengiris lagi berulang kali sampai sambungannya putus. Kepala Ilse terguling lepas dari badan, dan aku menendang kepala itu ke dinding.

Sejauh ini, belum ada perlawanan. Sukma Ilse, yang menghidupkan wujud manusianya, rupanya sedang sibuk di tempat lain. Tetap sibuk sana, sampai gue selesai!

Aku memenggal lengan dan kaki Ilse, lalu menendang tiap potongan badan jauh-jauh. Badan Ilse kubelah jadi dua dan kupisahkan: satu di sisi kiri ruangan, satu lagi di sisi kanan. Semua ini kurampungkan kira-kira dalam dua puluh detik.

Sekarang, Beatrix. Ayah baru potong tangan dan kakinya. Badannya mesti gue belah jadi dua.

Aku meraih badan Beatrix. Sebelum aku sempat menebas, sepasang tangan mencengkeram kepalaku dari belakang.

"Hah!"

Otomatis aku berteriak sambil mengayunkan pisau ke belakang. Bilahnya membelah udara, dan cengkeraman pada kepalaku terlepas. Aku berputar ke belakang sambil mengacungkan pisau.

Di tengah kamar berdiri seorang gadis bertubuh mungil. Gaunnya merah muda dan rambutnya hitam. Bibir dan dagunya bebercak merah, seolah dia baru meminum darah.

Lieke. Yang telah membunuh Arel, lalu Ayah. Saat aku teringat ini, darahku mendidih.

"Mana Johan?" tuntutku. "Bebaskan dia!"

Lieke menyeringai. Mata hijau mudanya berkilat; aku yakin dia menertawakan aku dalam hati. Aku berdiri, beringsut dari potongan-potongan badan boneka di lantai sambil tetap mengacungkan pisau.

"Mana dia?" ulangku separuh membentak.

Dari lemari terdengar bunyi klakkk! Satu kali, dan cukup keras. Mata Lieke tertuju pada lemari; mau tak mau, aku ikut menoleh.

Rak teratas tadinya kosong setelah kedua boneka kujatuhkan. Kini di sana ada satu boneka baru. Memakai kemeja biru bergaris, celana warna tanah, dengan rambut disisir belah pinggir. Tangan kirinya memegang tas kerja warna hitam.

Dadaku bagai tersambar petir. Otakku menampik kenyataan di depan mata, tapi aku pun sukar membantahnya. "Om Reno?" bisikku, dan kedua lenganku lemas sampai ke pinggang.

Boneka-boneka ini punya wujud manusia. Yang di luar dugaanku, mereka pun sanggup mengubah manusia jadi boneka. Rasa bersalah menyergapku; meskipun aku selalu dirugikan oleh pamanku, bukan ini akhir yang kuminta untuk beliau.

Lalu siapa laki-laki mirip Om Reno di luar rumah tadi? Untuk saat ini, aku menyisihkan dulu pertanyaan itu.

Lieke tersenyum, dan emosiku meledak. "Mana Johan?!" pekikku. "Kembalikan dia! Johan nggak salah apa-apa ke kalian!"

Sambil terus memekik, aku mengayunkan pisau. Lieke berkelit, lalu melanting keluar kamar. Aku mengejarnya, entah mengapa yakin bahwa jika dia terpotong-potong, Johan akan muncul.

Di lantai dua, di tangga, sosok gadis mungil itu tidak tampak. Tergesa-gesa aku turun ke lantai satu; Lieke tak boleh lolos sampai Johan kutemukan. Kemudian, di ruang tamu, aku berhenti.

Jasad Om Reno telah lenyap. Begitu pula tas kerjanya serta ponsel yang tadi jatuh ke lantai. Bulu kudukku meremang dan aku memalingkan muka.

Pamanku telah diubah menjadi penghuni lemari gudang. Sebentar saja, atau untuk selamanya? Lalu aku meneruskan langkah; saat ini, menolong Johan lebih urgen.

Aku mengetuk pintu kamar Tante Dinah. "Tante?"

"Iya, Mai?" sahut suara Tante.

Lihat selengkapnya