17. Khianat
Tante Dinah sedang berada di depan pintu kamarnya, berbicara dengan Johan. Tenagaku habis akibat memutilasi Lieke hingga aku hanya sedikit lega. Lagi pula, wajar saja Johan selamat, sebab Lieke kini tak berdaya.
Begitu melihat aku, mereka menoleh serempak. "Mai?" tanya Tante.
"Ya, ini aku. Bukan boneka yang menyamar."
Johan mengamatiku dengan saksama. "Lo nggak apa-apa?"
"Nggak. Barusan ketemu Lieke."
Dengan ringkas aku memaparkan kejadian di dapur. Badan Lieke, yang seukuran anak manusia, kembali berubah menjadi kain, kapuk, dan plastik. Aku memotong-motongnya, lalu sedapat mungkin membersihkan lantai dari percikan darah.
Demi mencegah Lieke, atau kedua temannya, menyerang untuk kali kesekian, aku bekerja cepat. Aku bahkan bersiap-siap jika listrik padam lagi. Namun, hingga aku menuju kamar Tante, semuanya berjalan lancar.
"Potongan badannya masih di dapur?" tanya Tante.
Aku mengiakan. "Masing-masing aku masukkan ke kantong kresek—itu, yang dikumpulin Tante buat alas tempat sampah. Tiap kantong isinya satu atau dua potongan badan."
Kami bertiga diam beberapa jenak. Dari dapur maupun lantai atas tak ada bunyi apa pun. Potongan-potongan badan boneka tetap di tempat, dan aku bersyukur. Jika mereka menyerang lagi, aku terlalu jemu dan lelah untuk meladeninya.
"Oya, Johan, barusan lo ke mana? Di lantai atas nggak ada."
Johan memandang Tante dengan agak canggung. "Ah—gue pindah sebentar ke masa lalu."
Dahi Tante berkerut. Aku pun menerangkan tentang kepekaan pada makhluk tak kasatmata. Kepekaan itu dapat membawa pemiliknya ke masa lalu, meneropong peristiwa tertentu.
"Lihat apa sewaktu di sana?" tanyaku pada Johan.
Dia terbatuk kecil. "Bu Dinah dan Pak Feri."
Mendengar nama Ayah, aku dilanda rasa kangen. Beliau pernah menjadi bagian dari hidupku dan sayang padaku, lalu pergi selamanya. "Ah … lagi apa mereka?"
"Pak Feri baru sampai di rumah ini. Bu Dinah suruh beliau tidur dulu. Habis itu, gue balik ke masa kini dan turun ke lantai bawah."
Aku diam, membayangkan peristiwa yang disaksikan Johan. Jujur, aku agak iri. Aku ingin melihat Ayah untuk kali terakhir—dan saat beliau sedikit bahagia, alih-alih pada momen tewasnya Arel.
Johan berpaling pada Tante. "Kalau boleh usul, sehabis ini saya ambil dua boneka lagi dari gudang. Potongan badan mereka dimasukkan ke kantong kresek juga. Besok, sambil pergi kerja, saya buang di tempat yang beda-beda."
"Kantong kreseknya jangan kamu bawa semua," kata Tante Dinah. "Bagi dua dengan Ibu, nanti Ibu buang di tempat lain."
Johan tampak bimbang. "Nggak bahaya, Bu?"
"Ibu rasa aman. Kata Mai tadi, fisik Lieke mirip boneka rusak, kan? Tandanya kekuatan dia jauh berkurang. Terutama karena dua boneka lain sudah dimutilasi."
"Berarti benar, Lieke ambil kekuatan dari mereka?" tanyaku.
Tante Dinah terdiam sejurus. "Oma curiganya demikian. Itu alasan Lieke minta Oma belikan boneka sebagai temannya. Bukan sembarang boneka, harus buatan pabrik yang sama dengannya."
Tengkukku merinding. "Pabrik? Boneka seperti mereka bukan cuma tiga? Berapa banyak....?"
"Entahlah." Tante Dinah mengembuskan napas panjang. "Oma tidak berani mengira-ngira. Mengurus tiga boneka saja, Oma sudah kewalahan."
Aku mengangguk dengan lidah kelu.
"Beda dengan ayahmu," imbuh Tante. "Diserang boneka sewaktu kecil tidak bikin dia jera. Malah dia makin bertekad memusnahkan boneka."
Apalagi sesudah Arel tewas. Begitu keluar dari penjara, Ayah kembali seatap dengan boneka yang membunuh putranya. Jelas saja tekad Ayah melawan boneka kian teguh.
Kami pun berhenti membahas topik itu dan menuju ruang tamu. Tante terkejut dan agak jeri oleh raibnya mayat Om Reno. Aku pun memerinci penampilan boneka baru di lemari gudang.
Tante Dinah dan Johan tercengang. "Om lo dijadikan boneka?" Johan menegaskan.