Boneka Petaka

Eve Shi
Chapter #19

Bab 18: Gagasan Arel

18. Gagasan Arel

"Mai, setop!"

Mendengar seruan Tante, aku mengerem langkah. Tante Dinah ikut masuk ke kamar dengan setengah berjingkat. Beliau menunjuk Johan dan berbisik.

"Hati-hati pegang Johan. Kita tidak tahu dia kenapa. Badannya jangan sampai goyang atau geser. Bicara yang pelan."

Seraya menyabarkan diri, aku menuruti kata-kata Tante. Perlahan aku meletakkan ujung jari di pundak Johan. Di balik kaus, kulitnya terasa hangat, pertanda dia masih hidup.

"Johan? Lo dengar gue?"

Tak ada jawaban. Dia terus mengedip dan bernapas tanpa memberi respons. Aku menarik tangan seraya memutar otak.

Apa Johan pindah ke masa lalu? Mungkin, di mata orang lain, begini pula kondisiku sewaktu melihat kematian Arel. Diam membatu, panca indra bagai tak berfungsi.

Jika Johan terlarung ke alam lain, sebaiknya aku menunggu sampai dia pulang dengan sendirinya. Namun, dia berpindah dua kali dalam rentang waktu yang pendek, dan bagiku itu tanda bahaya.

Makin lama orang terbawa ke alam lain, makin sulit dia pulang. Naluriku berkata demikian. Di luar itu, apa pun yang tengah dialami Johan, dia harus segera bangun.

"Di sini ada gue dan Tante Dinah, Johan. Tolong kembali ke masa kini. Kembali ke kami, ke mama lo. Bu Welas cuma punya lo sekarang. Jangan tinggalin beliau."

Ucapanku agak terlalu dramatis, tapi aku tak peduli. Johan harus kembali ke masa kini selekasnya. Sudah terlalu banyak yang meninggalkan aku, dan aku tak boleh kehilangan dia pula.

Tiba-tiba kaki Johan menyepak ke depan. Matanya mengedip cepat selagi badannya miring ke belakang. Terkejut, aku mundur sambil terus memperhatikannya.

Gerakan Johan terhenti. Badannya tetap miring, nyaris rebah di kasur. Tatapannya menelusuri langit-langit, seakan dia mencari sesuatu di sana.

"Johan?" panggil Tante Dinah. Suara beliau yang gundah selaras dengan perasaanku yang tak menentu.

Sedikit demi sedikit Johan menegakkan badan. Kedua lengannya terkulai hingga bahunya turun. Seraya bangkit dari tempat tidur, dia berpaling pada Tante dan aku.

"Keluarga celaka," ujarnya dengan suara rendah.

Tante Dinah terperangah, dan aku menekap mulut. Dua kata yang sama baru saja kudengar di dapur—dari sosok yang membenci keluarga Tante. Mendengarnya sekali lagi dalam suara Johan membuat perutku mual.

"L-Lieke?" Aku tergeragap.

Tanpa menggubris aku, Johan mendelik pada Tante. Bel alarm seketika berdering dalam kepalaku. Aku memotong-motong badan ketiga boneka, dan Tante mendukung tindakanku. Kebencian Lieke pada Tante pastilah mendidih sampai ke ubun-ubun.

"Tante, lari!" teriakku.

Namun, Tante tetap berdiri di tempat. Garangnya tatapan Lieke—yang meminjam raga Johan—seperti menyihir beliau. Tanpa membuang waktu, aku menyambar tangan Tante dan menyentakkannya.

"Cepat, Tante!"

Kaki Johan maju selangkah. Barulah Tante Dinah terperanjat dan menuju ambang pintu. Aku melepaskan tangan Tante sambil menghadap Johan—Lieke, aku mengingatkan diri sendiri, itu Lieke—selagi Tante bergegas keluar kamar.

Lieke berlari, akan menyusul Tante, dan aku menjegalnya.

Sekuat tenaga aku menghantamkan tumit pada pergelangan kaki Lieke. Tulangku bagai membentur beton hingga aku meringis. Lieke hilang keseimbangan sampai oleng, dan aku lari ke tangga.

Cuma dapat waktu beberapa detik! Kurang lama! Mestinya gue tendang lebih keras sampai dia jatuh—

Dari pintu gudang yang terbuka, sepasang tangan boneka terbang dan mendarat di kepalaku.

Aku begitu kaget hingga lupa menjerit. Alih-alih mencapai tangga, aku berhenti di depan gudang. Kedua tangan boneka merayap ke dahiku; jemarinya menyapu alis, lalu kelopak mata.

Lihat selengkapnya