19. Lenyap Selamanya
Wawancara kerja tahap pertama berjalan melampaui harapan. Aku tiba tepat waktu di kantor perusahaan dan namaku dipanggil paling awal. Semua pertanyaan kujawab dengan lancar dan percaya diri, sikap yang tampaknya disukai oleh pewawancara.
Seolah, sebagai imbalan karena berhasil melawan boneka pendendam, semesta memuluskan jalanku.
Perjalanan ke halte bus Transjakarta kutempuh dengan hati bernyanyi. Memar-memar di badanku hanya sakit bila tersenggol. Insiden kemarin kini sekadar mimpi buruk yang memasap di bawah matahari.
Lieke telah kalah. Terornya selama puluhan tahun mampu kami kandaskan. Fakta ini masih sukar kuterima, tapi kelak pasti jadi wajar belaka.
Halte bus, meski tak terlalu penuh, tetap gerah. Sebagian calon penumpang lain menekuni ponsel masing-masing. Aku mengirim pesan pada Tante Dinah: Tante di mana?
Kantor, jawab Tante. Semua kantong sudah dibuang di jalan tadi.
Oh, bagus, deh.
Kamu sendiri? Wawancaranya lancar?
Aku mengirim stiker wajah tertawa. Iya, berkat doa Tante. Moga-moga aku lolos ke tahap berikut. Mulai sekarang aku cek rumah-rumah kos di daerah situ.
Tinggal sama Tante saja. Tante pernah bilang, kan? Tiap pagi ikut mobil Tante setengah jalan ke kantormu. Lumayan, hemat ongkos.
Aku terkesima. Tante pernah menawarkan hal serupa, tapi kusangka beliau lupa akibat kami sibuk dengan boneka. Ternyata selama ini Tante ingat.
Bus dengan rute tujuanku tiba di luar halte. Penumpang lain mengantre dan aku masuk paling belakang. Setelah bus kembali melaju, barulah aku menjawab: Ngerepotin Tante nanti.
Repot apanya? Bukannya bagus, berangkat kerja kita sama-sama punya teman. Lagi pula, kita keluarga.
Tanpa sempat kucegah, mataku berkaca-kaca. Tante hidup seorang diri bukan hanya karena pilihan, melainkan juga akibat kekejian boneka. Selain aku, serta Om Yoga dan keluarganya, sudah tak ada yang dapat beliau panggil sebagai keluarga.
Oma sayang kamu, Ayah sayang aku. Demikian kata Arel pada Novi dalam mimpiku. Itu aja yang kita ingat, bukan boneka.
Sekarang ada lagi orang yang menyayangi aku. Seseorang yang sama-sama kehilangan keluarga kandungnya. Terkadang, nasib menuntun kita langsung ke tempat yang dapat disebut rumah. Rasa haruku melimpah ruah, tapi aku hanya sanggup mengetik: Terima kasih banyak, Tante.
***
Istri Om Reno mendatangi rumah Tante Dinah dan menanyakan suaminya. "Ditelepon tidak diangkat, pesan tidak dibaca. Teman-temannya hanya tahu dia pulang kantor lebih awal. Terakhir Kak Reno bilangnya kemari naik taksi online."
Wajah perempuan itu merah, pertanda dia di ambang tangis. Kedua tangannya meremas-remas dompet di pangkuan. Aku iba sekaligus merasa bersalah: Om Reno lenyap gara-gara datang ke rumah ini.
Tante Dinah, yang duduk di sampingku, berusaha tersenyum penuh simpati. Alih-alih, senyum itu sekadar tarikan bibir yang fakir makna. Tante harus berbohong dan karenanya merasa tidak nyaman.
"Sudah lapor polisi, Bu?" tanya Tante.
"Hari ini," ujar istri Om Reno. "Anak-anak dan saya juga post berita orang hilang di medsos. Biasanya kasus viral cepat dapat kejelasan." Perempuan itu mengusap mata dengan sisi telapak tangan. "Tadi saya mampir di gerbang kompleks, tunjukkan foto suami saya ke petugas sekuriti."
Aku dan Tante bertukar pandang. Istri Om Reno luput melihatnya, sebab dia menunduk dengan wajah muram. Yang kupikirkan tentunya sama dengan Tante: laki-laki mirip Om Reno yang meninggalkan rumah malam itu.
Dengan hati-hati, Tante bertanya, "Apa kata sekuriti?"
"Katanya, mungkin suami saya keluar kompleks sewaktu dia sedang tidak di pos jaga. Saya pikir, Kak Reno jalan kaki ke minimarket dan pesan taksi dari sana. Tapi dia tidak pernah sampai ke rumah...."
Salah satu kebiasaan Om Reno adalah menunggu jemputan taksi online di tempat yang mudah dicapai. Alasannya demi menghemat waktu: sopir taksi tak perlu mencari-cari alamat di tengah puluhan rumah. Kebiasaan ini satu-satunya yang ditiru Mama dari abangnya.
"Kira-kira ke mana, ya, suami saya?" tanya istri Om Reno dengan gelisah. "Dia tidak bilang apa-apa ke Bu Dinah?"
"Tidak," gumam Tante.