Aria mengendarai sepeda motornya perlahan, suasana kota kecil di daerah pegunungan itu terlihat sangat ramai dari biasanya. Mobil-mobil simpang-siur di jalan, menyalip dari kiri, berhenti di sembarang tempat. Suara klakson terdengar silih berganti bahkan saling susul seolah sebuah pertunjukan musik cadas yang memekakkan telinga. Pemandangan seperti itu sudah lama tak ditemui Aria, yang lahir dan tumbuh di sebuah kota pariwisata berhawa sejuk bernama Pontian yang terletak di kaki gunung Garu. Memang tidak seperti biasanya, hari ini suasana kota Pontian terlihat semakin ramai didatangi orang-orang dari Kota Magulai atau yang biasa mereka sebut Kota Bawah. Kedatangan orang-orang Kota Bawah membuat kota Pontian kembali marak setelah dipukul resesi ekonomi yang membuat kota pariwisata itu menjadi sepi dan nyaris mati sejak beberapa tahun terakhir.
Aria masih mengendarai sepeda motor bebeknya dengan kecepatan sangat pelan, takut menabrak orang yang berjalan kaki dan menyeberang sesukanya atau terserempet mobil orang-orang dari Kota Bawah yang lalu-lalang memenuhi jalan, tapi ada yang aneh dari penampilan orang-orang kota bawah saat itu. Pakaian mereka nampak sederhana dan terlihat bukan seperti mau berlibur. Lalu mobil-mobil mereka dipenuhi oleh tas dan koper-koper sampai ke atapnya. Apa mereka mau pindah? Bisik hati Aria bertanya-tanya. Di sebuah perempatan, Aria terjebak macet. Semua mobil saling mendahului hingga tak ada satu mobil pun bisa bergerak. Lampu pengatur lalu lintas seolah tak berfungsi meskipun warna merah, hijau dan kuningnya masih menyala bergantian. Aria berusaha melihat celah di antara mobil-mobil yang terjebak macet itu untuk meloloskan diri dan segera sampai ke tujuannya. Ada satu dua pengendara sepeda motor yang berhasil mendapatkan celah untuk jalan, Aria pun mengikutinya. Menjalankan sepeda motor seolah merayap di antara celah mobil, berbelok kiri dan kanan bahkan sesekali memutari mobil yang terjebak macet agar bisa keluar dari kerumunan kendaraan yang bertumpuk di jalanan.
Setelah bebas dari kemacetan di perempatan jalan, Aria tidak langsung bisa bernapas lega, soalnya jalan-jalan di kota Pontian memang sudah dipenuhi oleh kendaraan dari kota bawah. Di depan sebuah deretan pertokoan yang nyaris kosong, Aria berhenti karena ada sebuah truk berhenti agak ke tengah jalan. Lalu di sebelah kanannya dengan serta-merta mobil-mobil berhenti karena dari arah berlawanan banyak kendaraan yang juga melintas. Aria terjebak macet lagi. Truk sialan! Geram Aria dalam hati. Langit di atas kepalanya terlihat gelap, mendung hitam berarak perlahan menutupi birunya langit. Gerimis mulai turun, Aria resah karena tidak membawa mantel. Kalau hujan semakin deras pastilah dia tak akan bisa pulang cepat dan harus berteduh dulu menunggu hujan reda, sementara itu di rumah ibunya sudah kepayahan karena penyakit jantung dan darah tingginya kambuh lagi.
Sebetulnya sudah dari kemarin Aria ingin pergi ke pusat kota Pontian, untuk membeli obat di apotek, tapi sepeda motornya kehabisan bensin, untunglah tetangganya mau memberikan besin simpanannya setelah lebih dulu ditukar dengan dua karung jagung. Aria sendiri tak habis pikir kenapa bensin, gas dan minyak tanah menjadi langka di kotanya. Bahan-bahan kebutuhan pokok pun ikut-ikutan menghilang. Beras susah didapat, kalaupun ada harganya sangat mahal. Untunglah mereka tinggal di daerah pegunungan, kalau memang sudah tidak ada beras, mereka bisa makan jagung dan sayur-sayuran. Kol, wortel atau labu bisa direbus sebagai pengganjal perut.
Betul kata ibunya, kalau negara ini akan segera berakhir. Kemiskinan sudah merasuk jauh ke sendi-sendi kehidupan rakyat. Kekayaan sumber daya alam bangsa telah dirampok, dijarah dan dibawa lari ke luar negeri. Belum lagi para pejabat-pejabat korup yang seolah tak mau peduli pada keberlangsungan kehidupan bangsa dan hal itu semakin memperparah keadaan. Aria hanya mendengarkan saja setiap kali ibunya berkeluh kesah karena kehidupan semakin sulit. Baru sekarang Aria mengakui kebenaran kata-kata ibunya. Kehidupan memang semakin sulit dan Aria menganggap keadaan sekarang tidak lebih baik daripada jaman penjajahan yang dibacanya dari buku-buku sejarah di sekolah.
Suara klakson mobil yang ramai menyadarkan Aria dari lamunannya sebentar tadi. Truk parkir di depan deretan pertokoan yang memakan sebagian badan jalan dan membuat kemacetan telah bergerak menjauh. Aria kembali menjalankan sepeda motornya mencari-cari apotek yang masih buka. Sebenarnya ada beberapa apotik di kota Pontian, tapi banyak yang sudah tutup karena pasokan obat dari Magulai--kota bawah--tidak lancar dan kalaupun ada, distributor yang memasok obat-obatan menaikkan harga dua atau tiga kali lipat dari harga biasanya dan pemilik apotek di kota Pontian tidak sanggup untuk membelinya, karena mereka berpikir berapa lagi yang harus dijual ke konsumen? Begitulah alasan yang didengar Aria dari beberapa pemilik apotek yang sudah disinggahinya. Hujan tiba-tiba saja semakin deras, Aria menepi di depan sebuah toko swalayan yang nyaris kosong melompong, Aria mengintai dari dinding kaca toko swalayan itu. Petir tiba-tiba saja menyambar, mengantarkan cahaya kilat yang menyilaukan mata dan sontak membuat Aria terkejut. Beberapa orang datang berlarian mencari tempat berteduh di emperan toko swalayan itu.
“Petir tadi seperti pertanda buruk,” ujar seorang lelaki paruh baya.
“Iya, kalau dihubung-hubungkan dengan pemberontakan yang terjadi di Kota Bawah,” sahut seorang lelaki lain.
“Selesai sudah, kita kembali mundur seratus tahun ke belakang,” ujar lelaki paruh baya itu lagi.
“Betulkah berita pemberontakan di Kota Bawah itu?” tanya seorang ibu yang ikut numpang berteduh.
“Betul, Bu. Barusan tadi ada beritanya di televisi,” sahut salah seorang dari mereka yang ikut numpang berteduh.
Aria terkesiap juga mendengar pembicaraan orang-orang yang ikut numpang berteduh di emperan toko swalayan itu. Barulah sekarang rasa penasaran Aria terjawab kenapa banyak sekali orang dari kota bawah memasuki kota Pontian, hingga mobil-mobil mereka membuat sesak jalanan. Ternyata arus pengungsi masuk secara bergelombang ke kota mereka sejak tadi malam hingga pagi ini.
“Siapa yang memberontak?” tanya Aria entah pada siapa.
Orang-orang yang berteduh di dekatnya menoleh serempak. Aria terlihat bingung. Dia sudah sangat khawatir mendengar kata pemberontakan. Pastilah terjadi perang, tembak menembak. Kembali terbayang film-film perang yang pernah ditontonnya. Sungguh betapa tidak enak hidup dalam suasana perang. Sewaktu-waktu nyawa siapa saja bisa melayang seolah tak ada harganya.
“Kita tidak tahu siapa yang memberontak, Nak. Namun yang pasti mereka berjumlah sangat besar dan bersenjata lengkap. Begitulah yang diberitakan oleh televisi,” sahut seorang lelaki yang berdiri paling ujung.
“Pemberontakan itu bisa saja sampai ke kota ini,” ujar lelaki yang lain.
Mereka semua terdiam. Aria memandangi bulir-bulir air hujan yang jatuh seperti jutaan jarum-jarum halus yang terempas ke aspal jalan. Kalau pemberontakan sampai ke kota ini, peluru-peluru akan sederas air hujan mengunjam tubuh-tubuh mereka lalu darah membanjir di jalanan bukan lagi air hujan seperti sekarang. Membayangkan hal itu Aria bergidik sendiri. Dia teringat ibu dan adik perempuannya di rumah. Lelaki tujuh belasan itu melongok ke jalanan, hujan masih mengguyur dengan derasnya. Hati Aria mendadak resah ingin segera mendapatkan obat yang diperlukan ibunya, lalu pulang ke rumah. Itu saja, tapi kekuatan alam seperti ini siapa yang bisa melawan? Terserah saja kalau mau basah kuyup kehujanan kemudian jatuh sakit, pergilah. Aria mengurungkan niatnya menembus tirai hujan yang masih bergelora. Dalam kepalanya terbayang lagi wajah ibu lalu wajah adik perempuannya bernama Alya yang masih berusia lima belas tahun.
Hujan sedikit agak reda, tiba-tiba saja beberapa truk tentara bergerak cepat di jalan, melintasi aspal basah. Wajah-wajah lelaki berseragam loreng di atas truk tanpa dinding itu sekilas tertangkap oleh mata Aria, wajah mereka sangat tegang dengan senjata laras panjang tersampir di bahu masing-masing. Oh, Tuhan. Perang betul-betul akan terjadi di kota ini. Aria melirik orang-orang yang berteduh di dekatnya.
“Mereka pasti dikirim untuk membantu melawan pemberontakan di Magulai,” ujar seorang lelaki paruh baya.
“Kita harus bersiap-siap menghadapi hal terburuk,” ujar seorang lelaki yang lain.
“Tidak perlu terlalu khawatir juga, kita ini cuma rakyat biasa, kita tidak terlibat perang,” sahut seorang ibu.
“Ya, tapi peluru itu tidak bermata, Bu. Siapa yang bisa menjamin kita bakal aman-aman saja dalam susasana perang?” seorang bapak tua yang sedari tadi diam saja kini ikut angkat suara.
"Apalagi di Jakarta juga sudah terjadi demonstrasi besar-besaran. Gedung DPR sudah terkepung."
Aria hanya mendengarkan saja dan tak ingin mencari tahu siapa tadi yang barusan bicara. Karena orang yang berteduh di emperan swalayan kecil itu sangat banyak. Kalau benar di Jakarta sudah seperti itu keadaannya, apalagi di sini? Aria semakin merasa cemas.
Ketika hujan betul-betul sudah reda. Beberapa orang yang tadi berteduh di emperan sebuah toko swalayan mulai beranjak satu persatu. Mereka pergi tanpa bersuara lagi, agaknya suasana perang yang akan terjadi, entah besok atau lusa sangat menghantui pikiran mereka masing-masing. Aria buru-buru mengambil sepeda motornya lalu laksana terbang dia pergi menuju apotek di pusat kota. Beberapa apotek didatangi, tapi di apotek terakhir barulah Aria menemukan obat-obatan yang dicarinya.
“Pakai copy resep, ya?” tanya perempuan petugas apotek sambil menerima secarik kertas dari tangan Aria.
“Iya, Kak.”
“Tunggu sebentar,” perempuan petugas apotek itu masuk ke dalam.
Aria melangkah menuju tempat duduk yang terbuat dari serat fiber warna biru dan kaki-kakinya disangga oleh stainless steel berbentuk bulat panjang dan melengkung, disitulah Aria mengempaskan tubuhnya dengan pikiran tak menentu. Membayangkan perang yang akan terjadi lalu harga obat-obatan yang akan ditebusnya sebentar lagi. Lelaki muda berdagu kukuh itu mengembuskan napas berat. Dia menoleh keluar apotek, jalanan masih terlihat basah sisa hujan tadi. Sementara itu langit terlihat sedikit agak terang meski sisa-sisa mendung masih bergelayut di atas sana.
“Ini, Dik. Semuanya lima ratus enam puluh ribu rupiah,” perempuan petugas apotek membawa bungkusan plastik putih berisi obat-obatan.
Aria berdiri lalu berjalan pelan mendatangi petugas apotek yang menunggunya di meja kasir. Aria mengeluarkan anting emas, bentuknya bulat mungil. Tidak sampai dua gram. Sepasang anting emas itu diletakkan Aria di atas meja kaca. Petugas apotik menatap heran pada Aria.
“Saya tidak punya uang, Kak. Cuma ini saja,” suaranya terdengar pelan dan malu-malu.
Perempuan petugas apotek itu menarik napas. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Aria diam terpaku, berdoa dalam hati semoga obat yang ada di dalam kantongan plastik di atas meja berlapis kaca itu bisa segera dibawanya pulang. Beberapa saat berlalu, tak ada suara dari perempuan petugas apotek itu.
“Tolonglah, Kak. Ibu saya sakit dan butuh obat,” Aria memelas.
“Sebentar,” petugas apotek kembali masuk ke dalam.
Angin sejuk menerpa dari jalanan menerobos ke dalam apotek. Aria merapatkan tangan, bersedekap di dadanya. Doa tak putus dilambungkan ke langit, memohon bantuan Sang Khalik, maha penguasa langit dan bumi, yang bagiNya mudah melakukan apa saja, yang mustahil jadi mungkin. Semoga saja anting mungil itu bisa menutupi harga obat yang ingin ditebusnya. Aria menegakkan punggung, coba melongok lewat pintu penghubung menuju ruangan kantor di dalam apotik. Tak ada siapa-siapa, sunyi dan sepi. Lalu pandangannya beralih ke atas meja kaca, disitu masih terletak bungkusan plastik berwarna putih berisi obat. Timbul niat jahat Aria untuk melarikan saja bungkusan itu, bukankah sepasang anting mungil milik Alya sudah berada di tangan petugas apotek? Tangan Aria menjulur hendak meraih bungkusan obat, tapi dia mengurungkan niatnya dan kembali duduk di kursi tunggu. Tak lama setelah itu terdengar suara langkah dari dalam kemudian sosok perempuan petugas apotek muncul.
“Kita tidak pasti berapa harga anting ini, Dik. Hanya mengira-ngira saja, kau punya uang tambahan?” tanya petugas apotik itu.
“Berapa, Kak?” Aria bangkit dan menghampiri meja kasir.
“Dua ratus ribu lagi?”
Aria menggeleng pelan. Dia menelan ludah, pahit! Di saku celana jins sobeknya hanya ada selembar uang sepuluh ribu. Kurang Seratus sembilan puluh ribu lagi. Kemana mau dicari? Aria berpikir keras di tengah kebingungannya.
“Kalau tinggal STNK boleh, Kak?”
“Baiklah, besok harus kau lunasi, bagaimana?”
“Ya, saya janji, besok akan dilunasi.”
Aria pulang dengan hati tenang, meski dia harus berusaha keras mencari kekurangan uang untuk membayar obat-obatan itu. Di dalam perjalanannya suasana mulai terasa sepi, tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang seperti di kota tadi. Tempat tinggal Aria memang dipinggiran kota, masuk ke kampung yang dikelilingi oleh kebun-kebun jeruk, kol, jagung dan satu dua pohon durian. Jalanan beraspal tipis dan tak rata membuat tubuh Aria terguncang-guncang di atas motor bebeknya, motor bebek butut peninggalan almarhum ayahnya. Dalam keheningan jalan dan suasana alam pegunungan yang sejuk Aria menatap jauh di depannya, gunung Garu yang tegak menjulang, anggun, kokoh dan indah. Sudah sering Aria dan kawan-kawan sekampungnya mendaki sampai ke puncak gunung itu, menyaksikan kota Pontian dan kota-kota kecil lain di sekitarnya. Sungguh negeri ini sangat indah dan kaya raya.
Di persimpangan jalan menuju pulang, Aria dikejutkan oleh segerombolan orang-orang yang berkumpul di dekat pintu masuk ke perkampungan. Wajah orang-orang itu rata-rata dikenal oleh Aria bahkan di antaranya ada yang sangat akrab seperti Pak Surji, kepala lingkungan mereka dan Pak Awang kepala kampung. Orang-orang itu terlihat siaga dengan membawa pedang, tombak dan parang. Ada sekitar tiga puluh orang bergerombol di pintu masuk menuju kampung yang berbentuk gapura dan dilengkapi dengan pos ronda. Aria berhenti sejenak dan menepikan motornya di dekat pos ronda.
“Darimana kau, Aria?” tanya Pak Surji.
“Dari apotek, Pak. Beli obat untuk Ibu.”
“Kau tidak tahu ada pemberontakan bersenjata di Magulai?”
“Ya, tadi saya dengar orang-orang bicara soal pemberontakan yang terjadi di Kota Bawah,” sahut Aria khawatir.
Kota Magulai yang biasa mereka sebut sebagai kota bawah adalah ibu Kota Provinsi dan sangat dekat jaraknya dengan kota Pontian, cuma dua jam perjalanan. Sangat mungkin kalau pemberontakan yang terjadi di Magulai akan menyebar dengan cepat ke kota mereka. Itulah sebab mengapa Pak Awang sebagai kepala kampung beserta perangkatnya berinsiatif melakukan penjagaan di pintu masuk perkampungan. Meski dalam hati Aria mentertawakan kepala kampungnya itu. Para pemberontak menggunakan senjata moderen, mana mungkin dihadang pakai parang dan tombak?
“Saya pulang dulu, Pak. Mau mengantar obat untuk Ibu,” Aria pamit pada Pak Awang dan Pak Surji.