Suara rentetan senjata terdengar sangat jelas bersahut-sahutan, saling balas. Kadang-kadang terdengar dari kejauhan dan ada kalanya sangat dekat. Ini sudah hari ketiga peperangan terjadi antara kaum pemberontak bersenjata dengan tentara pemerintah. Praktis selama tiga hari itu tidak ada penduduk yang berani keluar rumah. Mereka tak tahu pihak mana yang akan memenangkan pertempuran. Tidak ada pengumuman dari pihak tentara untuk menenangkan hati warga. Hanya sesekali terlihat beberapa orang tentara berjalan di sekitar rumah penduduk, termasuk di halaman rumah Aria.
“Bang, lapar,” suara Alya mengagetkan Aria yang sedang mengintip dari balik jendela yang setengah terbuka.
“Tutup jendelanya, Aria!” sergah ibunya yang baru saja keluar dari kamar.
Aria menoleh dan melihat ibunya berjalan tertatih menuju dapur. Sementara itu, Alya duduk di kursi rotan di ruang tengah dengan wajah memelas. Gadis tanggung berusia lima belas tahun itu memang sudah dari kemarin malam belum makan.
“Kenapa?” tanya Aria pelan.
“Lapar, Bang!” Alya merengut.
“Kita tidak punya jagung lagi, Aria?” suara ibunya terdengar dari dapur.
Aria bergegas menuju dapur. Sejak kemarin mereka memang kehabisan jagung. Beras? Jangan ditanya, mereka sudah sebulan lebih tidak makan nasi. Aria yang putus sekolah lalu bekerja di ladang milik pak Sanjaya, tuan tanah dari Kota Bawah, sudah lebih dari sebulan dipecat karena dituduh mencuri jeruk. Memang pak Sanjaya itu memiliki lahan yang luas dan ada di beberapa tempat. Dia menanami lahannya dengan stroberi, jeruk, kol, jagung dan cabe. Di kampung Aria, pak Sanjaya termasuk tuan tanah yang paling kaya. Di kampung ini saja villa-nya ada lima. Meski dia jarang datang dan hanya menyuruh orang kepercayaannya untuk mengawasi lahan pertanian, tapi sekali dia datang, pasti ada saja pekerja di ladang pertaniannya yang jadi korban pemecatan. Alasannya macam-macam dan tidak masuk akal bahkan fitnah. Padahal sebenarnya dia tidak ingin ada pekerjanya yang menuntut kenaikan upah atau meminta imbalan dengan cara bagi hasil. Aria dituduh mencuri jagung berkarung-karung padahal dia tidak melakukannya. Tiba-tiba saja siang itu orang kepercayaan pak Sanjaya datang dan menuduh Aria mencuri jagung sebanyak lima karung. Aria membantah, tapi karung-karung berisi jagung itu terlihat menumpuk di balik kandang ayam. Aria tak bisa membela diri, tak ada saksi yang bisa mendukung bantahannya. Aria dipecat dari lahan pertanian pak Sanjaya. Di kampung itu, sekali saja ada tuan tanah yang memecat pekerjanya, dijamin dia tidak akan bisa bekerja di ladang tuan tanah yang lain. Aria menaruh dendam, dia merasa telah dikorbankan hanya karena menuntut kenaikan upah supaya bisa membawa ibunya berobat, rawat inap di rumah sakit.
“Itu jagung hasil dari menjual ayam ke pasar Pontian minggu lalu, Bu, sekarang sudah habis” ujar Aria pelan.
“Kita masih punya apa untuk dijual, Aria?” tanya ibunya putus asa.
Aria menatap ibunya.
“Kalau pohon-pohon durian di halaman belakang itu berbuah, kita bisa menjualnya ke pasar Pontian.”
“Pohon durian itu berbuahnya kapan? Apa kita harus menunggu sampai tahun depan baru bisa makan?” ujarnya ibu kesal.
“Kita masih punya ayam, Bu.”
“Berapa ekor lagi?” kejar ibunya.
“Ada lima ekor.”
“Sudah, potong saja seekor. Kita makan ayam goreng siang ini,” ujar ibunya sambil beranjak meninggalkan dapur dengan langkah tertatih.
Aria ingin mengingatkan ibunya, bahwa mereka tidak punya minyak goreng. Selama sebulan itu mereka hanya maka jagung rebus atau bubur labu kalau ada tetangga yang berbaik hati memberikan sebiji dua biji labu kuning kepada mereka. Penduduk kampung ini semuanya miskin. Rata-rata lahan mereka sudah dijual atau digadaikan kepada tuan tanah yang berasal dari Kota Bawah. Kalau sudah tergadai tinggal menunggu waktu saja untuk kehilangan tanah dengan cara paksa. Hukum sudah lama tidak berpihak kepada mereka yang miskin. Hukum bisa dibeli, yang salah bisa jadi benar, yang curang bisa jadi pemenang.
Suara rentetan tembakan masih terdengar sesekali di kejauhan. Aria bergegas keluar dari pintu belakang. Tujuannya hanya satu, ke rumah sahabatnya Farhan, meminjam sedikit minyak goreng. Aria berjalan mengendap, melewati halaman belakang. Menyelinap di antara tumbuhan perdu dan pohon-pohon besar dan rimbun. Hanya sepuluh menit dari rumahnya, Aria sudah sampai di halaman belakang rumah Farhan.
“”Han, Farhan!” Aria menanggil-manggil dari dinding dapur.
Kali ini suara tembakan terdengar jelas, tepat di depan rumah Farhan. Aria menjatuhkan tubuhnya ke tanah dalam posisi tiarap sambil menutupi kedua telinganya. Sesaat kemudian ada suara ribut-ribut dari dalam rumah, Aria merasakan ada sesuatu yang jatuh menimpa tubuhnya. Dia memberanikan diri menoleh.
“Kau itu Han? Farhan?!” bisik Aria sambil menggerakkan tubuhnya.
Orang yang tadi jatuh menimpa tubuh Aria bergeser sedikit, posisi mereka jadi bersebelahan. Orang itu ternyata Farhan, sahabat dan tetangga dekat Aria. Wajah Farhan terlihat pucat, memutih seperti kapas. Tiba-tiba saja Aria merasakan aroma kurang sedap menerpa penciumannya. Pesing!
“Kau kencing, Han?” Aria bergeser menjauh masih dalam posisi tiarap.
Farhan nyengir dan berusaha bangkit, tapi belum lagi dia betul-betul berdiri tegak, suara rentetan tembakan terdengar lagi. Buru-buru Farhan menjatuhkan tubuhnya ke tanah sambil menutupi kedua telinganya dengan telapak tangan.
“Mati kita, Aria. Hari ini kita akan mati…” tubuh Farhan gemetar.
“Kau lihat siapa yang melepaskan tembakan di depan rumahmu itu?” bisik Aria bertanya.
“Tadi aku ngintip dari jendela, ada banyak tentara tiarap di jalan.”
“Terus mereka menembak ke arah mana?” desak Aria lagi.
“Mereka menembaki ke arah perladangan jagung di depan rumahku.”
“Berarti pemberontak itu berada di areal perladangan,” gumam Aria.
Suara seperti bom tiba-tiba saja menggelegar di tanah kosong samping rumah Farhan. Bumi seperti bergetar, bau mesiu menyergap menerpa penciuman mereka. Suara tangis anak kecil terdengar dari dalam rumah.
“Adikmu, Han. Coba lihat apakah keluargamu ada yang kena” ujar Aria khawatir.
“Aku takut, Aria.”
“Ya, sudah. Biar aku yang lihat. Oh ya, apa kalian masih punya minyak goreng?”
Farhan terbodoh menatap Aria. Aria tak pedulikan keheranan sahabatnya itu, dia berdiri setengah membungkuk lalu menyelinap masuk ke dalam rumah. Di dalam Aria mendapatkan keluarga Farhan, ayah, ibu dan dua orang adiknya bersembunyi di bawah kolong ranjang. Menurut Aria, itu adalah tempat perlindungan yang sia-sia. Kalau rumah mereka dihujani peluru mortir, tidak ada gunanya berlindung di tempat seperti ini. Apakah tidak sebaiknya keluar rumah dan bersembunyi di tepi hutan dekat kaki gunung? Aria berjongkok dan melongok ke kolong ranjang. Sosok-sosok yang bertumpuk di bawah kolong ranjang itu semuanya menutup mata dan merapatkan telapak tangan ke telinga masing-masing. Suara rentetan senjata tidak terdengar lagi di luar rumah.
“Pak Wandi, Pak Wandi. Jangan sembunyi di dalam rumah,” bisik Aria.
Perlahan lelaki yang dipanggil Pak Wandi itu mengangkat wajahnya, melihat keluar kolong. Aria berjongkok di pintu kamar. Pemuda tanggung berdagu kukuh itu mengisyaratkan dengan tangannya agar pak Wandi beserta istri dan anaknya keluar dari kolong ranjang. Tiba-tiba suara rentetan senjata terdengar lagi, Pak Wandi beserta anak istrinya urung keluar dan kembali sembunyi di bawah ranjang. Aria menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan tiarap. Sementara itu di luar rumah, suara truk tentara terdengar bising, langkah-langkah kaki berderap di aspal jalan. Suara tembakan senjata meletus lagi.
“Apakah tentara kalah?” suara Pak Wandi terdengar pelan.
“Saya juga tidak tahu, Pak,” sahut Aria tak kalah pelan.
“Mereka lari? Meninggalkan kampung kita?” suara istri pak Wandi terdengar gemetar.
Aria memberanikan diri untuk bangkit dan berdiri, ia melangkah ke jendela kamar yang tertutup, tapi lupa dikunci. Pelan sekali Aria mendorong daun jendela hingga terbuka sedikit, cukuplah baginya untuk mengintip apa yang terjadi di luar sana.
“Betul, tentaranya lari,” bisik Aria sedikit agak keras.
“Terus kita bagaimana?” tanya istri Pak Wandi khawatir.
“Tenang sajalah, Bu. Kita harus patuh pada siapa pun yang memenangkan peperangan ini,” ujar Pak Wandi sambil merayap keluar dari kolong ranjang.
“Bapak itu tidak punya pendirian namanya!” sergah istri Pak Wandi.
“Sudah aman, saya mau pulang dulu,” Aria melangkah keluar kamar.
“Kau tadi dari mana, Aria?” tanya Pak Wandi heran.
“Mau minta sedikit minyak goreng kalau ada, tapi baru sampai di halaman belakang, perang sudah mulai,” sahut Aria enteng.
“Minyak goreng masih ada, ambillah di belakang, tapi kami tidak punya gula, kalian ada?” ujar istri Pak Wandi seolah mengajak barter.
Aria berpikir sejenak. Mengingat-ingat kapan terakhir kali dia minum teh hangat dibubuhi gula. Ah, dia tak pasti. Mungkin sudah empat atau lima hari yang lalu. Aria cuma bisa nyengir seperti orang bodoh. Istri Pak Wandi memandangnya heran.
“Kenapa nyengir?”
“Anu, Bu. Kami juga sudah kehabisan gula,” ujar Aria polos.
“Kita memang sangat miskin, padahal negeri ini kaya raya,” geram pak Wandi entah pada siapa.
“Sudahlah, Pak. Jangan mengingat-ingat kekayaan yang bukan punya kita,” sela istrinya kesal.
“Jadi kekayaan alam negeri ini punya siapa?” balas Pak Wandi tak mau kalah.
“Yo, mbuh punya siapa, orang-orang kaya itulah siapa lagi?”
“Para pejabat korup itu?” ujar Pak Wandi sinis.