BONO 13.15

Onet Adithia Rizlan
Chapter #5

RUMAH MUNGIL di TEPI SUNGAI

Seperti biasanya ketika mau akhir bulan, Rizal harus pergi ke Guntung, kota kecamatan Kateman, Untuk mengambil bahan makanan kebutuhan para staf selama satu bulan ke depan. Jarak dari Estate Malapari ke Guntung sekitar sejam, mengarungi sungai Kateman yang merupakan sungai pasang surut--karena sudah dekat dengan laut. Rizal menggunakan boat Pancung--perahu cepat terbuat dari kayu yang haluannya sedikit melengkung berbentuk seperti bulan sabit--kepunyaan divisi tiga, karena sebagai staf logistik, Rizal belum memiliki kendaraan dinas sendiri. Itulah sebabnya apabila ada keperluan berhubung dengan pekerjaannya, Rizal selalu meminjam kendaraan kepunyaan divisi secara bergiliran. Hal ini juga yang sering dikeluhkan oleh Rizal, tapi tidak mendapatkan tanggapan yang serius dari Pak Darman selaku manajer selain hanya berjanji akan mengusahakan kendaraan dinas untuk Rizal.

Setiap kali menuju Kota Kecamatan dan melewati sebuah rumah mungil di pinggir sungai, Rizal selalu melempar pandangan ke arah rumah itu, selain bentuk rumahnya yang tradisional berbentuk rumah panggung terbuat dari kayu dan beratap rumbia. Halaman rumah yang ditanami aneka bunga dan menyempil sebuah pohon rambutan yang batang serta dahannya sangat rendah. Pohon rambutan itu sedang berbuah sehingga warna merah banyak menyembul dari balik rimbun dedaunan, lalu ujung halamannya yang landai serta rendah hingga terlihat menyatu dengan permukaan aliran Sungai Kateman yang berwarna bening kecokelatan mirip dengan minuman ringan Coca-cola. Sungguh pemandangan yang memanjakan mata. Driver yang mengemudikan Pancung dari bagian belakang boat selalu memperhatikan gerak-gerik Rizal yang duduk di bagian tengah boat . Tiba-tiba driver Pancung itu bersuara.

"Ada cewek cantik di rumah itu, Pak Riz." ujar Edi Badak, nama driver Pancung itu--disebut badak karena tubuhnya besar tinggi dan berperut buncit.

"Dari mana kau tau, ada cewek cantik di rumah itu?"' Rizal bertanya heran.

"Aku kan sering lewat sini Pak Riz?" Edi Badak tertawa kecil.

"Maklumlah di kebun kan sepi, tak ada ceweknya, kalau ada pun udah pada tua-tua," sahut Edi Badak beralasan.

"Ada juga yang masih muda seperti kau juga usianya," sahut Rizal membantah ucapan Edi Badak barusan.

"Iya, tapi sudah ada yang punya semua," Edi Badak tertawa keras.

Memang bagi anak-anak muda, bekerja di kebun bukanlah pilihan utama, selain tempatnya sepi sudah pasti tidak banyak pilihan untuk mencari hiburan, apalagi mencari pacar. Di kebun rata-rata sudah berkeluarga semua. Kecuali ada beberapa orang staf yang masih lajang, tapi itu juga sold out alias sudah laku semua, sudah punya pasangan masing-masing. Paling tidak mereka berpacaran dengan sesama staf secara sembunyi-sembunyi.

"Kau sudah pernah ke rumah itu?" tanya Rizal penasaran.

"Sudahlah, Pak. Bapak saja yang ketinggalan jaman," Edi Badak tertawa lagi.

"Ketinggalan jaman?" Rizal menoleh ke belakang melihat Edi Badak yang sedang konsentrasi memegang kemudi.

"Staf yang lain udah punya pacar di luar kebun, Pak Rizal sendiri yang masih jomblo. Lekas cari pacar, Pak. Perempuan di sini cantiknya alami bukan seperti gadis-gadis di kota. Kulit mereka putih karena karena memakai bedak campur mercury dan hidrokuinon. Kalau perempuan di sini kulit mereka putih bersih alami karena sering melumuri wajah dan tubuh mereka dengan bedak dingin--tepung beras yang diperoleh dari beras putih yang direndam dengan air selama satu hari agar tekstur beras lebih lunak--sehingga membuat kulit mereka halus dan mulus. Sudahlah, Pak. Jangan memikirkan kerja melulu, nanti Pak Riz jadi lajang tua," Edi Badak yang orang Palembang itu memanas-manasi Rizal.

'"Usia Saya baru 27 tahun. Santailah, badak. Takkan lari gunung dikejar.

Rizal yang sedikit kesal dengan ucapan driver Pancung itu hanya memanggil badak saja, bukan memanggil Edi nama driver itu yang sebenarnya.

"Badak-badak begini pacarku kayak artis, Pak. Mau kenalan?" tantang Edi Badak.

Rizal terdiam sejenak.

"Orang mana?" tanya Rizal akhirnya 

Lihat selengkapnya