BONO 13.15

Onet Adithia Rizlan
Chapter #6

BERTANDANG ke RUMAH IMELDA

Pukul dua siang, Rizal sudah selesai mengambil bahan makanan untuk keperluan kantin staf kebun selama sebulan dari pemasok, rekanan perusahaan perkebunan di pasar Guntung. Boat Pancung sudah terisi penuh. Bahan-bahan makanan seperti beras, ayam, daging, ikan, telur, minyak goreng, kopi dan gula serta kecap. Sudah dimuat ke dalam boat Pancung. sehingga pinggiran boat hampir sama rata dengan permukaan sungai. Berkali-kali Rizal memperingatkan Edi Badak agar berhati-hati mengemudikan boat-nya. Boat kayu yang sarat muatan itu dikhawatirkan karam apabila terkena gelombang.

" Tenang bae, Pak Riz . percayakan padal Edi Badak. Wong Plembang ni, bos. Senggol, dong!" ujar Edi Badak jumawa.

"Tapi ini bukan di Sungai Musi, ini Sungai Kateman! Kondisinya berbeda. Hati-hati, kita sekarang berada di kampung orang, Badak! Jangan banyak lagak" Rizal kembali memperingatkan driver Boat Pancung itu.

" Aku ni anak sungai, Pak?" Edi Badak masih berkeras.

"Kau tahu kenapa setiap tahun ada saja korban yang tenggelam atau hanyut dan kau tahu kenapa yang jadi korban selalu saja orang luar atau pendatang?" Rizal coba mengorek ingatan Edi Badak.

Driver boat bertubuh besar itu tertawa mengejek.

"Bapak ni orang kota dan berpendidikan, tapi masih percaya takhayul?"

"Bagian mananya yang takhayul?" Rizal memandang Edi Badak.

"Kata Bapak tadi, kenapa selalu saja orang luar yang menjadi korban hanyut atau tenggelam di sungai? Itu karena mereka tidak mengenal daerah sini," ujar Edi Badak menjelaskan.

"Itulah yang saya ingatkan tadi, Badak. Kau bukan orang sini asli, tentu tidak mengenal karakteristik Sungai Kateman seperti kau mengenal betul seluk-beluk Sungai Musi di Palembang sana,"

Edi Badak tak menjawab lagi, ia menyalakan mesin boat dan mereka segera pergi meninggalkan dermaga Guntung, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Indragiri Hilir di Provinsi Riau.

"Hati-hati, Badak. Boat kita ini sudah sarat dengan muatan," suara Rizal tenggelam oleh bisingnya mesin tempel berkekuatan 250PK.

"Iya, Pak Riz, tenang bae," sahut Edi Badak agak berteriak supaya terdengar oleh Rizal yang duduk diantara karung-karung beras dan minyak goreng di dalam boat Pancung.

Ketika hampir memasuki pertigaan sungai, Edi Badak mulai mengurangi laju boat. Di depan sudah nampak perkampungan Simpang Kateman.

"Jadi kita singgah ke rumah Imelda, Pak Riz?" Driver boat itu mengingatkan Rizal yang sudah terkantuk-kantuk di dalam boat.

Rizal membuka mata seketika.

"Oh ya, jadilah kenapa tidak?" Rizal pun melempar pandangan keluar boat melihat ke dermaga kecil di tepian pertigaan Sungai Kateman. Di atas sudah terlihat rumah-rumah panggung terbuat dari kayu yang bersusun tak beraturan. Lalu ada beberapa orang anak berlarian menjauh dari dermaga kayu di gerbang kampung tersebut.

Edi Badak merapatkan boat Pancung ke dermaga lalu melempar tali tambang ke atas dermaga. Rizal bergegas turun lalu menambatkan boat dengan mengikatkan tali tambang ke tiang dermaga.

Edi Badak tersenyum dan mengacungkan jempolnya kepada Rizal yang sudah berdiri di atas dermaga kayu itu 

"Terimakasih, Pak Riz!" 

Di atas dermaga Rizal sibuk menyalakan rokok yang diambilnya dari saku celana. Angin bertiup agak kencang beberapa kali mematikan korek api di tangan Rizal, Edi Badak melompat dari boat ke dermaga. Rizal agak mundur ke belakang menjauh dari pinggir dermaga.

"Sabarlah sedikit, takkan lari gunung dikejar," Rizal menyindir Edi Badak. Lelaki bertubuh tambun itu meringis kesal.

"Siapa pula yang hendak mengejar gunung?" 

Rizal tertawa.

"Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Sudahlah, tunjukkan mana dia kekasih kau yang macam artis itu?"

Lihat selengkapnya