BONO 13.15

Onet Adithia Rizlan
Chapter #12

MENGAJUK HATI

Rizal menikmati makan siang di halaman rumah Aina yang tidak jauh dari aliran Sungai Kateman. Suara burung kedasih--surniculus lugubris-- terdengar sayup dari kejauhan. Rizal duduk di sebuah bangku kayu begitu juga dengan Edi Badak serta Imelda dan Aina yang menemani mereka makan siang dengan menu kaikan patin dan ikan baung yang di bakar. 

"Patutlah kulit kalian halus dan bersih. Makannya ikan segar terus bukan daging olahan kayak orang-orang kota,' ujar Edi Badak di badak tiba-tiba.

Rizal terperangah juga mendengar ucapan Edi Badak. Apa alasannya berani berkata seperti itu? Rizal tersenyum dan geleng-geleng kepala sendiri.

"Tidak jugalah, Bang. Tak semua gadis kampung macam kami ini putih mulus, banyak juga yang hitam bersisik maklum hari-hari kerjanya di ladang, mandi pakai sir tanah gambut," Aina buka suara.

Rizal terpana mendengar suara Aina yang lembut dan merdu. Perempuan ini memang paket komplit! Hati Rizal berkata-kata.

"Kenapa kalian laki-laki suka sekali memandang perempuan hanya sibuk sebatas fisik? Padahal itu hanya kulit luar saja, kenapa tak melihat perangai dan budi pekerti kami?" Imelda menyela dengan nada kesal.

"Tidak semua laki-laki juga yang cuma memandang fisik. Entah kalau Edi Badak yang begitu," Rizal menggoda driver boat itu.

"Halah! Pak Rizal juga memandang fisik dan rupa. Waktu mau ke sini dia tanya, tuan rumahnya cantik nggak?" Edi Badak membalas serangan Rizal.

Rizal tertawa sambil geleng-geleng kepala.

" Mana ada saya bilang seperti itu. Mengada-ngada dia," Rizal membela diri.

"Ya, sudah kalau kalian tak percaya," Edi Badak menatap Aina dan Imelda bergantian seolah meminta pembelaan.

"Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan. Setiap orang sudah ada jodohnya masing-masing, sekeras apa pun ia mencari yang sesuai dengan keinginannya, tapi apa yang sudah dipilihkan Tuhan untunya dengan itulah dia berjodoh. Suka atau tidak, ia harus menerima," ujar Aina sangat bijaksana.

Rizal menundukkan kepalanya dan berusaha merenungi kalimat yang diucapkan oleh Aina. Di dalam hatinya, Rizal membenarkan pendapat Aina tersebut.

Perlahan Rizal mengangkat wajahnya dan menatap Aina. Bertepatan dengan gadis itu juga menatap Rizal. Mereka beradu pandang. Cepat, Aina menghindar dengan menundukkan wajahnya.

Tanpa setahu mereka berdua, ternyata Edi Badak dan Imelda ikut memperhatikan tingkah laku Rizal dan Aina.

"Jangan lama-lama, sebentar lagi mau kiamat!" celetuk Edi Badak menyindir.

Rizal sadar kalau ucapan Edi Badak itu adalah sindiran untuknya. Untuk menghilangkan rasa kikuk Rizal mengambil ikan-ikan dalam baskom plastik yang masih tersisa dan belum dibakar, sementara itu bara api di pemanggangan masih membara.

"Sebentar, Aina. Aku pulang dulu, mau ngasih adik aku makan. Payah dia itu kalau nggak dipaksa selalu saja tak mau makan," Imelda bersiap-siap hendak bergegas.

"Si Amin?" ujar Aina sambil mendongak melihat Imelda yang sudah berdiri.

"Iya, si Amin. Ayo, Bang antarkan sku5," Imelda menatap Edi Badak.

Tanpa bertanya apa pun, Edi Badak langsung bersiap. Rizal memandangi Edi Badak dan Imelda bergantian. Ia tampak bengong. Edi Badak yang tahu kalau Rizal bingung sendiri karena akan ditinggal cuma senyum-senyum saja.

"Bang Rizal tidak apa-apa ya, ditinggal sebentar. Bercakap-cakaplah dengan Aina," Imelda berusaha mencairkan suasana yang membuat Rizal canggung 

"Masih banyak ikan yang belum dibakar. Itu pekerjaan Pak Riz dan Aina untuk membakarnya, nanti kalau kami pulang semuanya udah siap, kita tinggal makan saja," ujar Edi Badak sambil melangkah pergi.

"Jangan lama-lama kau, Badak!" seru Rizal kesal merasa dikerjai oleh Edi Badak dan kekasihnya itu.

Sampan kepunyaan Imelda telah dikayuh oleh Edi Badak dan mereka sudah agak menjauh dari depan rumah Aina. Namun tak sepatah kata pun yang terucap dari kedua orang itu. Rizal dan Aina. Meskipun pandangan mata Rizal tak pernah lepas dari sosok Aina yang sedari tadi menundukkan muka sambil mengoret-oret tanah berpasir di halaman rumahnya itu dengan sebatang kecil ranting pohon rambutan. Pohon rambutan yang tumbuh di halaman rumah Aina memang sedang berbuah lebat. Sehingga warna merah yang menyembul dari balik dedaunan hijau terlihat sangat indah.

"Aina," tegur Rizal pelan. Ia sudah tak tahan berdiam diri terus.

Lihat selengkapnya