BONO 13.15

Onet Adithia Rizlan
Chapter #13

INTRIK SEORANG MANAJER

Pagi itu sekitar pukul sembilan, Rizal sedang sibuk mengawasi buruh kebun dari divisi satu, sedang mengambil pupuk urea dari gudang. Purwanto penjaga gudang berdiri di depan pintu sambil memegang tally--alat hitung--dan menekan tombol kecil di tally setiap kali seorang buruh keluar dari gudang sambil memanggul sekarung pupuk urea.

Di pinggir Jetty Rizal duduk di sebuah bangku kayu sambil ikut memperhatikan para buruh memuat karung demi karung pupuk urea ke atas ponton--jenis kapal pengangkut barang yang bentuknya seperti kotak besar terapung--yang bergoyang sedikit ketika buruh-buruh itu mengempaskan karung pupuk ke lantai ponton.

Suara burung cekakak terdengar sayup-sayup dari hutan di seberang gudang pupuk yang dipisahkan oleh kanal selebar 5 meter dengan kedalaman 10 meter. Lalu angin bertiup sepoi-sepoi membuat air kanal terlihat bergelombang dan menimbulkan riak-riak kecil. Ah, damai sekali tinggal di tengah perkebunan dan hutan tropis seperti ini. Rizal merasa ketenangan yang luar biasa. Udara yang masih relatif segar membuat suasana di tempat itu membuat Rizal merasa betah untuk berlama-lama mengawasi para buruh mengambil pupuk. Meskipun hal itu bisa dilakukan oleh Purwanto. Dia yang bertanggungjawab seandainya ada selisih jumlah pupuk yang dikeluarkan dan diambil para buruh lapangan, tapi bukan itu sebenarnya yang membuat Rizal bertahan di tempat itu. Ia hanya ingin menikmati suasana di pinggir kanal depan gudang yang menghadap ke arah hutan. Rizal hanya ingin mencari suasana baru berbeda dengan di ruangan kerja di kantornya.

"Pak Riz!"

Tiba-tiba saja Pak Arif, Komandan Security datang dengan berlari-lari kecil di jalan tanah menuju ke arah gudang. Rizal melihat Pak Arif yang sudah terlihat terengah-engah.

Rizal berdiri.

"Ada apa, Pak Arif?"

"Dipanggil Pak Darman!" Komandan Security itu datang mendekat.

Rizal kasihan juga melihat Komandan Security itu ngos-ngosan di hadapannya.

"Kenapa harus lari-lari?' ujar Rizal keheranan.

"Habis, Pak Riz nggak bisa dihubungi. Capek saya manggil-manggil dari Handy Talkie. Karena nggak ada jawaban juga, terpaksa saya keliling mencari, Pak Riz. Dari kantor, ke kantin terus ke klinik, ke rumah siapa tahu pulang? Eh, nggak ada juga. Terakhir saya ke sini. Namanya juga Kepala Gudang, pasti nggak jauh-jauh di gudang," ujar Pak Arif sambil sesekali menarik napas untuk menenangkan napasnya yang terengah-engah.

Bagus juga logika Pak Arif puji Rizal dalam hati.

"HT saya ketinggalan di kantor. Maaf sudah membuat Pak Arif, capek mencari-cari saya. Ada apa tadi, saya dipanggil, Pak Darman?"

"Iya, kelihatannya dia lagi marah."

"Marah?" Rizal memandangi wajah Komandan Security itu.

"Betul, Pak Riz. Saya aja dibentak-bentak, disuruh mencari Pak Riz sampai dapat."

"Ya, sudah saya ke sana sekarang."

Rizal berdiri dari tempat duduk kayu di pinggir Jetty di mana sebuah ponton sedang bersandar memuat urea. Ketika menapaki jalan setapak yang melintasi tanah luas yang ditumbuhi rumput, Rizal melempar pandangan sekitar 200 meter di depannya tampak bangunan panjang berwarna kuning dengan hiasan ornamen Melayu pada bagian depan atap bangunan yang menjulang. Itulah bangunan panjang yang disebut long house. Semua staf dari berbagai divisi berkantor di situ.

Ketika melewati Pos Security Rizal melihat Rukmini duduk di dalam pos. Ketika melihat Rizal melintas, Rukmini buru-buru beranjak keluar.

"Pak Riz!" 

Mau tak mau Rizal terpaksa berhenti meskipun ia terburu-buru untuk memenuhi panggilan Pak Darman, manajer kebun.

Lihat selengkapnya