BONO 13.15

Onet Adithia Rizlan
Chapter #15

PEMBICARAAN DUA ORANG PEREMPUAN

Pagi itu pukul sepuluh, Imelda datang bertandang ke rumah Aina. Ia sendirian mengayuh sampan kecil yang melawan arus menuju rumah panggung yang terpisah dari perkampungan Simpang Kateman. Letak rumah Aina memang strategis berada tepat di pinggir sungai, tidak masuk ke dalam dan jauh dari aliran sungai seperti perkampungan Simpang Kateman, tempat di mana tinggal Imelda.

 Sinar matahari pagi jatuh menimpa permukaan air sungai yang mengalir dan memantulkan cahaya berkilauan dan hal itu membuat suasana pagi disekitar sungai menjadi indah. Lalu ditingkahi dengan suara gergaji mesin di kejauhan memecah keheningan dan membuat semangat hidup jadi menggeliat. Imelda semakin cepat mengayuh sampan, ingin segera bertemu dengan Aina Zuraida, sahabat karibnya.

Di rumahnya, Aina sedang sibuk memasak sedangkan adiknya, Awang Kecik lagi sibuk menjahit jala yang robek di halaman samping.

"Awang! Panjatlah kelapa, ambil yang tua. Kakak mau menggulai ikan patin," seru Aina dari pintu dapur .

Awang Kecik tak menyahut ia masih sibuk memperbaiki jala yang koyak di beberapa bagian.

Di dapur Aina sedang sibuk menyiangi ikan patin. Sementara itu di tungku periuk tempat menanak nasi sudah terdengar suara menggelegak. Aina meninggalkan pekerjaannya menyiang ikan lalu mencuci tangan daengsn air bersih yang disauk dari tempayan, setelah itu Aina membuka tutup periuk dan mengaduk-aduk nasi yang masih berair dengan centong kayu. Itu gunanya agar nasi tidak berkerak dan matang secara merata.

Di halaman samping dekat pintu dapur, Awang Kecik masih terlihat tekun menjahit jala yang digantung pada tiang bambu. Ia menoleh ke bubungan atap dapur dan terlihat asap putih kelabu meliuk-liuk ke atas. 

"Lekaslah, Awang! Ambilkan Kakak kelapa, satu butir yang tua!" tiba-tiba terdengar lagi suara teriakan Aina dari dapur.

"Sebentarlah, Kak! Ini masih menjahit Jala," sahut Awang kesal karena merasa terganggu.

"Hari sudah mau siang, apa perut kau tak lapar?" balas Aina mengingatkan.

Awang Kecik langsung berdiri dan berjalan ke halaman belakang rumah. Di situ ada beberapa pokok kelapa. Setelah melihat-lihat dari bawah untuk memilih pokok yang mana banyak buahnya, barulah dengan gerakan yang sigap, Awang Kecik memanjat pokok kelapa yang lumayan tinggi. Seperti umumnya kelapa yang berada di daerah pesisir.

"Awaaang .... Mana kelapanya? Lekaslah sikit!"" teriak Aina kesal.

Lalu tak lama setelah itu terdengar beberapa kali suara berdebum, seperti benda berat yang jatuh ke tanah. 

"Oiiii ... pangeraaan! Untuk apa kau menjatuhkan kelapa banyak-banyak?" teriak Aina sambil berjalan keluar dari dapur.

Aina berdiri di bawah pokok kelapa memandang adiknya yang sedang duduk di pelepah pokok sambil memilih-milih kelapa yang tua.

"Cukuplah itu, untuk apa banyak-banyak kelapa? Siapa yang menyembelih lembu rupanya?" sindir Aina.

"Supaya besok-besok, aku tidak turun naik memanjat pokok kelapa macam beruk!" ujar Awang Kecik bernada kesal.

***

Imelda sedang mengayuh sampan kecil menuju ke rumah Aina. Pukul sepuluh pagi, sinar matahari jatuh menimpa aliran sungai yang memantulkan sinar berkilauan. Menampilkan pemandangan yang cukup nemikat lalu dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara chain saw--gergaji mesin--yang sedang menebang pohon.

Imelda masih terus mengayuh sampan kecil menuju rumah Aina. Ketika hampir mendekati dermaga kecil yang terbuat dari kayu di depan rumah Aina, Imelda pun berhenti mengayuh sampan, ia hanya menjadikan pengayuh sebagai kemudi untuk mengarahkan sampan mendekati dermaga. Setelah tangannya bisa mencapai dermaga dengan cepat Imelda menangkap dan memegang erat-erat tiang dermaga lalu melilitkan tali penambat perahu ke tiang tersebut. Setelah itu ia melompat ke lantai dermaga yang bagian bawahnya terendam air sungai yang mengalir tenang.

Dari atas pucuk pokok kelapa, Awang melihat ke arah sungai yang mengalir di depan rumahnya. Tampak Imelda berada di tangga dermaga tengah melangkah menuju halaman rumah.

"Assalamualaikum! Aina, Ainaaa ..." Imelda memberi salam dan memanggil-memanggil nama sahabatnya itu.

Dari pucuk pokok kelapa, Awang Kecik melihat ke bawah, tapi Kakaknya sudah tidak terlihat lagi di bawah sana.

"Imelda datang, Kak!" bisik Awang sedikit agak kuat. Ia mengira Aina sudah masuk lagi ke dapur.

***

Lihat selengkapnya