BONO 13.15

Onet Adithia Rizlan
Chapter #18

BERITA TENTANG AUDIT

Rombongan penjemput jenazah Amaq Inayah yang terdiri dari Asisten Kepala, Kepala Gudang serta Komandan Security dengan seorang anggotanya sampai di Estate Malapari pada sore menjelang maghrib. Setelah berkomunikasi dengan anak dan istrinya maka diputuskan untuk mengubur Amaq Inayah di halaman belakang emplasemen yang memang dipersiapkan untuk areal makam. Karena biaya untuk memulangkan jenazah Amaq Inayah ke Lombok terlalu besar meski pihak perusahaan memberikan bantuan, tapi tidak cukup dan keluarga Amaq Inayah sendiri tidak punya uang untuk menambah kekurangannya. Maka diputuskan untuk memakamkan jenazah di areal pemakaman Estate Malapari.

Karena di daerah itu tidak ada yang pernah menguburkan mayat pada malam hari seperti biasa yang dilakukan di Pulau Jawa, maka pemakaman Amaq Inayah disepakati dilaksanakan siang harinyai sebelum sholat Zuhur. 

Setelah jenazah Amaq Inayah berada di rumah duka. Maka para penjemput yang dipimpin oleh Pak Leo, beserta, Rizal, Pak Arif dan Jumiran, pamitan pulang ke rumah mereka masing-masing.

Di jalan menuju pulang, Rizal bertemu dengan Purwanto, bawahannya yang bertugas menjaga gudang pupuk dan gudang BBM. Rizal menghentikan Purwanto dan memberitahu kan bahwa akan ada pemeriksaan dari tim audit kantor pusat

"Lakukan stock opname dan jangan sampai ada selisih dengan fisiknya,"ujar Rizal mengingatkan.

"Bagaimana dengan penyusutan, Pak Riz?" Purwanto berkilah.

"Auditor itu bukan orang bodoh. Mereka tahu berapa jumlah penyusutan yang masuk akal. Kalau sampai selisih BBM sampai satu ton, itu bukan penyusutan, tapi orang gudangnya yang kencing!"

Rizal menyindir dengan menganalogikan mencuri BBM dari gudang dengan istilah kencing.

Purwanto terlihat bingung.

"Mmm ... Kalau penyusutan paling sekitar puluhan liter, Pak. Nggak mungkin sampai satu ton. Bapak tahu dari mana selisih solar dan bensin kita sebanyak itu?" Purwanto balik bertanya.

"Itu cuma seandainya. Jika sampai ditemukan selisih sebanyak itu. Kau pasti di penjara,"Rizal menggertak.

"Tidak mungkinlah, Pak. Jangan khawatir," ujar Purwanto yakin.

"Ya, sudah. Besok kita buktikan. Berapa selisih antara fisik dan catatan di stock card. Mudah-mudahan saja aman," Rizal tak mau berdebat dengan bawahannya itu.

"Baik, Pak."

" Ya, sudah. Besok pagi saya ke gudang."

Rizal menyudahi pembicaraan dengan Purwanto dan langsung meneruskan langkah melalui jalan tanah yang sudah dikeraskan di areal emplasemen menuju ke rumah dinasnya.

Sesampainya di rumah Rizal tidak langsung mandi dan bersih-bersih, padahal sudah seharian ia berada di luar rumah, pergi ke Pulau Mud, ikut menjadi tim penjemputan jenazah Amaq Inayah salah seorang buruh kebun yang menjadi korban Ombak Bono. Sebenarnya Rizal merasa badannya gatal-gatal dan pakaiannya terasa lengket, tapi ia menunda untuk mandi dan membersihkan diri dengan mengganti pakaiannya, melainkan menyempatkan diri untuk menyeduh secangkir kopi lalu duduk di beranda rumah sambil mengisap sebatang rokok.

"Mandi dulu sana, orang-orang di masjid sudah selesai sholat maghrib itu," ujar Anwar mengingatkan.

Anwar adalah asisten divisi, teman satu rumah Rizal yang baru pulang dari masjid dan masih mengenakan sarung, baju koko serta memakai kopiah di kepalanya.

Memang kebijakan di perusahaan ini, setiap staf yang masih lajang tidak akan diberikan satu rumah utuh, tapi berbagi dengan staf lajang yang lainnya. Rumah dinas mereka terdiri dari tiga kamar tidur, ruang tamu dan dapur yang sudah dilengkapi dengan perabotan lengkap, jadi setiap staf tinggal masuk bawa badan saja. Bagi yang sudah punya istri dan anak mereka diberikan satu rumah utuh dan tidak berbagi dengan staf yang lain. Perusahaan mengambil kebijakan seperti itu hanya untuk efisiensi dan penghematan saja dan semua staf bisa menerima kondisi itu.

"Aku mau nyantai sebentar," Rizal beralasan.

"Berat beban pikiran nampaknya?" Anwar yang usianya masih sebaya dengan Rizal berusaha untuk menyelidik.

Lihat selengkapnya