BONO 13.15

Onet Adithia Rizlan
Chapter #22

INTEROGASI

Suasana makan malam di rumah Aina terlihat tidak seperti biasanya. Wajah Ayah dan Ibunya terlihat tegang, pun begitu juga dengan Aina. Ia merasa diperatikan terus oleh kedua orangtuanya. Suap demi suap nasi terasa hambar dan dingin di mulut Aina. Kenapa Ayah dan Ibunya seaneh itu? Hati perempuan muda itu bertanya-tanya dalam hati.

Beda dengan Awang Kecik, adik lelaki Aina itu benar-benar menikmati makan malam mereka, berupa ikan baung yang di goreng, sambal tomat dan sayur gulai rebung. Awang Kecik duduk bersila dan di tikar pandan dengan satu kaki ditekuk ke atas. Memang keluarga Aina selalu makan dan duduk di lantai papan ruang tengah dengan menghamparkan tikar pandan sebagai alas duduk. Ruang tengah rumah panggung itu hanya diterangi dengan lampu petromaks-- lampu berbahan bakar minyak bertekanan. Bahan bakar tersebut bisa berupa kerosin, parafin, atau spirtus--yang menerangi seluruh ruangan dengan warna kekuningan yang cerah.

Suasana di luar sepi, aliran sungai di depan rumah Aina terlihat mengalir pelan. Rembulan di langit yang menyembul malu-malu menghadirkan cahaya temaram, tapi cukuplah untuk menerangi sekitar halaman rumah panggung itu.

Makan malam yang terasa lambat dan menegangkan itu, akhirnya selesai juga. Cepat, Aina memberesi bekas piring makan dan membawanya ke dapur. Lalu buru-buru, masuk ke kamarnya yang tidak berdaun pintu dan hanya ditupi oleh kain panjang bermotif burung merak.

"Aina, sini sebentar!"

Baru saja Aina merebahkan dirinya ke ranjang besi yang dipasangi kelambu--mirip tempat tidur jaman dulu--terdengar suara bariton Ayahnya memanggil. Aina tidak langsung bangkit, tapi masih rebahan dan berbalik ke kiri dan kanan sebelum ia bangun dan duduk di tempat tidur yang berkasur kapuk dan terasa hangat di tengah-tengah daerah terpencil yang masih dikelilingi sisa-sisa hutan tropis dan perkebunan sawit.

"Aina, keluar sebentar, Nak ..."

Kali ini, suara Ibunya yang terdengar memanggil. Aina bergeser ke tepi tempat tidur, ia menjulurkan kakinya ke bawah, tapi enggan menjejakkan kakinya ke lantai kamar. Aina duduk di tepi tempat tidur besi itu sambil menguncang-uncang kakinya ke depan dan belakang. Sebenarnya Ia malas untuk keluar kamar dan menemui kedua orangtuanya. Aina sengaja berlama-lama dan berharap Ayah dan Ibunya paham bahwa ia tak mau diganggu.

"Ainaaa .." terdengar lagi suara Ibunya memanggil.

" Ya, Maaak?" mau tak mau Aina menyahuti panggilan Ibunya itu.

"Kalau dipanggil orangtua, datangi cepat."

Tekanan suara Ibunya terdengar agak kesal. Aina maklum kalau sudah seperti ini pasti ada hal serius yang ingin di sampaikan oleh Ayah dan Ibunya.

Aina tak berani berlama-lama lagi di dalam kamar, perempuan muda berambut lurus tergerai dengan kulit putih bersih dan berwajah bagus itu pun langsung bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu kamar yang hanya ditutupi oleh sehelai kain panjang bermotif burung merak.

Lihat selengkapnya