BONO 13.15

Onet Adithia Rizlan
Chapter #25

KENDURI SUNATAN

 Sampan terus bergerak mengikuti arus sungai, sekarang pengayuh sudah berpindah tangan. Kini Edi Badak yang memegang pengayuh yang berfungsi menjadi alat untuk mengarahkan sampan. suara kecipak air sungai sesekali terdengar ketika pengayuh dipindah ke kiri atau ke kanan oleh Edi Badak ketika ingin mengatur arah sampan agar tetap lurus dan tidak berputar-putar apalagi sampai melintang menghadang arus air. Itu sangat berbahaya karena bisa membuat sampan terbalik.

Rizal menikmati perjalanan bersampan malam hari seperti ini, apalagi ia bersama Edi Badak yang memang mahir membawa kendaraan air. Sedikit pun tak ada rasa khawatir di hatinya meski di kiri dan kanan sungai adalah semak belukar dan bisa jadi ada buaya muara yang sedang mengintai dari pinggir sungai yang ditumbuhi semak belukar.

Rizal masih terus menghidupkan senternya agar terlihat oleh perahu atau kapal pompong milik pabrik kelapa sawit yang melintas di Sungai Kateman. Sehingga tabrakan bisa dihindari.

Suara desauan angin yang bersentuhan dengan dedaunan di pepohonan di kiri kanan sungai dalam suasana keremangan cahaya rembulan semakin membuat Rizal merasa terdampar jauh dari peradaban. Ketika melintasi rumah Aina, barulah Rizal merasa menemukan kehidupan lagi. Meski rumah itu terpencil sendiri, jauh dari perkampungan Simpang Kateman yang lumayan ramai.

Sekitar sepuluh menit setelah melintasi rumah Aina, barulah Rizal melihat cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk serta bubungan atap rumah yang membentuk siluet hitam bersusun dan berlapis saling tumpang tindih.

Mendekati kampung Simpang Kateman, alur sungai menjadi bercabang tiga. Terus ke Simpang Kiri kalau ke kanan menuju kota kecamatan bernama Sungai Guntung. Edi Badak mengarahkan sampan untuk menepi ke dermaga kampung Sungai Kateman, ia berusaha untuk tidak sampai terbawa arus sampai ke pertigaan alur sungai yang arusnya berputar-putar dan sampan kecil yang mereka naiki tentu berbahaya sekali jika masuk ke pusaran air seperti itu.

"Pak Riz, bantu aku menepikan sampan!" teriak Edi Badak yang agak kewalahan menepikan sampan.

"Bagaimana caranya?" Rizal kebingungan.

"Kayuh pakai tangan!" Edi Badak bersuara lagi.

"Kau cuma ingin melihat pakaian saya basah? Sudahlah, kita tak usah menepi, biarlah hanyut terus sampai ke simpang kiri!"" balas Rizal sengit.

Edi Badak mengayuhkan dua batang pendayung dengan cepat, sehingga suara kecipak air terdengar kuat. Perlahan sampan merapat ke tepi, walau tidak tepat berada di depan dermaga kayu kepunyaan penduduk kampung Simpang Kateman.

"Payah! Bawa sampan saja nggak becus. Apalagi kapal pesiar?" Rizal mengejek Edi Badak.

"Pak Riz, syukur kita bisa merapat ke dermaga meskipun terlewat sedikit. Kalau tadi Pak Riz yang bawa sampan ini, bisa-bisa kita hanyut terus sampai ke Selat Malaka."

Edi Badak tertawa sambil geleng-geleng kepala. Namun tangannya dengan cekatan menangkap tiang dermaga. Sambil berpegangan pada tiang dermaga itu, dia mengambil tali tambang yang berada di lantai sampan dengan menjepit tali itu dengan jari kaki kemudian menariknya ke atas lalu menambatkan sampan agar tak hanyut dibawa arus sungai.

Rizal sedang berpikir-pikir bagaimana caranya untuk turun dari sampan. Sedangkan letak dermaga jaraknya sekitar 5 meter dari posisi sampan mereka yang sudah tertambat.

"Turunlah, Pak Riz," ujar Edi Badak mengejutkan Rizal.

"Turun ke mana, Badak? Nyemplung ke sungai?" Rizal melontarkan kekesalannya.

"Lompat saja ke tepiannya, terus merangkak ke atas!" Edi Badak memberi tahu cara turun dari sampan.

"Kau tarik dulu tali penambat sampan itu, sampai mendekati tangga dermaga. Barulah kita bisa turun dengan selamat," Rizal memberi saran bagaimana cara untuk turun dari sampan.

Edi Badak geleng-geleng kepala.

Lihat selengkapnya