BONO 13.15

Onet Adithia Rizlan
Chapter #31

MENDATANGI BONO

Setelah selesai makan malam yang terlambat di kantin staf, Rizal menyempatkan diri untuk bertakziah--mengunjungi keluarga yang tertimpa musibah untuk meringankan beban mereka dan mendoakannya--ke rumah satu keluarga yang menjadi korban ombak Bono di desa Pulau Muda. Edi Badak pun ikut bersama Rizal.

Delapan mayat yang masih ditutupi kain panjang dan belum dimandikan serta belum dikafani, terbujur kaku bersusun di ruang tengah rumah panggung di komplek perumahan buruh.

Satu keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, anak, menantu dan cucu. Mereka sekeluarga adalah tenaga kerja yang direkrut dari Lombok.

"Tidak dibawa pulang ke kampung?" tanya Rizal kepada salah seorang buruh yang masih ada hubungan keluarga dengan korban.

"Tidak, Pak Riz. Semua keluarga yang tinggal di Lombok sudah ikhlas. Biarlah mereka yang sudah meninggal dikubur di sini saja."

Rizal merasakan betapa sangat pasrah dan tak berdayanya jawaban dari salah seorang kerabat korban tersebut. Meskipun ada bantuan untuk memulangkan jenazah, tapi itu memang tidak cukup untuk membiayai semuanya.

Rizal tak berani membayangkan seandainya dia yang menjadi korban ombak Bono, lalu dikuburkan di sini. Jauh dari sanak keluarga. Bagaimana mereka mau berziarah nantinya? Harus mengarungi sungai yang luas serta dalam, lalu terguncang-guncang di dalam speed boat boat selama satu jam untuk masuk ke areal perkebunan yang berada di tengah hutan. Sungguh perjalanan yang berat dan menguras tenaga.

Hampir pukul sepuluh malam, barulah Rizal beranjak pulang dari rumah duka. Ia adalah staf yang paling akhir datang bertakziah, karena baru pulang dari Saka Pasir memenuhi panggilan General Manager mengenai hasil audit yang bermasalah.

Edi Badak juga ikut pamit mengikuti Rizal. Sementara itu masih banyak buruh yang berjaga-jaga di rumah duka.

Di jalan menuju pulang, Rizal mengutarakan rasa penasarannya tentang ombak Bono. Lalu Edi Badak pun menanggapinya.

"Pak Riz, mau melihat ombak Bono?"

"Gila! Bagaimana caranya?" Rizal tak percaya.

"Ombak Bono itu bisa ditunggu kapan datangnya, Pak Riz. Banyak orang yang melakukannya, dan di sana sudah seperti objek wisata saja, ramai sekali pengunjungnya," Edi Badak menerangkan.

"Wisata bencana?" ujar Rizal skeptis.

Edi Badak tertawa.

"Bagaimana kalau kita bersama Aina dan Imelda, pergi ke sana?" Edi Badak mengusulkan.

"Mau melihat Bono, apa mereka bersedia? Kalau mau ngajak jalan-jalan itu, sekalian aja ke Batam. Belanja barang-barang import?" Rizal menawarkan pilihan.

Edi Badak tertawa lagi.

"Pak Riz, Pak Riz ... Di Batam mana ada ombak Bono? Lagi pula kalau aku mengajak Imelda ke sana, nggak kuat belanjainnya. Kalau Pak Riz, bisalah. Kan, sudah staf. Penghasilannya dibandingkan aku yang hanya buruh harian ini, apa kabar?" Edi Badak geleng-geleng kepala sambil mengelus dada.

"Ya, semampunya saja. Jangan kalap kalau belanja di sana," Rizal menasihati.

Lihat selengkapnya